Mohon tunggu...
Abdul Azis Al Maulana
Abdul Azis Al Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Mataram

Jika kau bukan anak raja, bukan orang terpandang, maka menulislah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Klitih sebagai Permasalahan Sosial Dalam Tinjauan Sejarah

13 April 2022   17:59 Diperbarui: 13 April 2022   18:09 1560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixabay/Cesar Augusto Ramirez Vallejo

Klitih Sebagai Permasalahan Sosial Dalam Tinjauan Sejarah

Naiknya nama Klitih karena kasus pembunuhan yang menjeratnya memang semestinya membuka mata kita lebih lebar mengenai dampak buruk yang bisa dilakukan anak-anak remaja yang tidak terorganisir, apalagi mereka cenderung menghabiskan waktu dalam hal keburukan.

Kita sebagai komponen masyarakat mungkin tidak seleluasa pemerintah yang bisa membangun Undang-Undang serta aturan untuk melawan mereka, namun tentu saja, sebagai komponen masyarakat kita bisa memperbaiki hubungan sosial serta terus memantau anak didik kita agar tidak jatuh pada pergaulan yang salah.

Adanya penanaman nilai moral, norma, dan agama tentu akan sangat membantu anak-anak kita untuk mengedepankan nilai sosial serta spiritualitas yang mereka miliki daripada langsung menggunakan emosi negatif untuk bertindak. Namun yang sama pentingnya tentu saja melakukan pengawasan terhadap anak kita, memenuhi emosi mereka dengan kasih sayang agar mereka tidak keluar mencari perhatian maupun adrenalin dengan membunuh orang.

Sebenarnya fenomena Klitih bukanlah hal yang asing untuk didengar, namun semakin lama nama tersebut menjadi semakin berkonotasi negatif untuk masyarakat Indonesia. Berbeda dengan kata anjay yang malah menjadi kalimat netral, kata Klitih sama seperti kata bajingan, mereka menjelma negatif dari waktu ke waktu.

Klitih sebenarnya berasal dari istilah yang merujuk kepada Pasar Klitikan Yogya yang memiliki arti melakukan aktivitas yang tidak jelas namun bersifat santai sembari mencari barang bekas dan Klitikan. Sementara sebutan Nglitih digunakan untuk menggambarkan kegiatan jalan-jalan santai.

Namun dalam kurun waktu yang cukup lama, Klitih yang awalnya hanya keluar karena gabut perlahan-lahan mulai berubah karena tercemari kondisisi sosial yang buruk. Hal itu karena di Yogyakarta sendiri budaya kekerasan yang dilakukan pelajar disana sudah marak semenjak tahun 1980 dan 1990-an.

Pada masa itu kekerasan yang dilakukan pelajar dipelopori oleh dua geng besar yang legendaris, yaitu QZRUH dan JOXZIN. QZRUH adalah kependekan dari Q-ta Zuka Ribut Untuk Tawuran. Yang dimana Geng ini merajai wilayah Yogyakarta pada bagian utara.

Sementara JOXZIN itu sendiri merupakan singkatan dari Joxo Zinthing atau Pojox Benzin (pojokan pom bensin alun-alun) atau Jogja Zindikat. Geng ini memiliki kuasa pada bagian besar Malioboro hingga Yogyakarta bagian utara.

Kendati tidak pernah ada yang mengetahui kapan Klitih mengalami pergeseran makna namun pada akhirnya nama itu bergeser menjadi negatif, bahkan kini Klitih identik dengan nama 'tawuran'.

Sekarang kata Klitih identik dengan aksi kekerasan yang dilakukan oleh remaja SMP dan SMA yang menuai korban bukan hanya dari kalangan pelajar saja, melainkan mahasiswa dan masyarakat. Dan yang lebih mengerikannya adalah bahwa mereka tidak sendiri melainkan bergerombol serta membawa senjata tajam seperti golok, pedang dan bahak gear motor yang sudah dimodifikasi.

Yang paling menakutkan dari aksi Klitih ini adalah bahwasanya mereka melakukan aksi kekerasan tanpa pandang bulu dan bahkan melakukan penyerangan terhadap orang yang tidak mereka kenal sama sekali.

Pada tahun 2011 sampai 2012 pembacokan marak terjadi, namun pada tahun 2013 Klitih sempat redup sebab polisi mampu meminimalisir aksi kekerasan yang dilakukan oleh kalangan pelajar pada waktu itu.

Klitih tentu sebenarnya sama sekali tidak berbau kekerasan, itu jika kita merujuk pada tahun 2007 disaat nama tersebut masih murni dan masih menjadi tradisi. Namun sekarang nama Klitih tentu sudah jauh berbeda, bahkan pada akhir 2016 lalu, Polda DIY menggunakan istilah Klitih menggunakan klitih untuk mendeskripsikan kekerasan di kalangan pelajar. Yang artinya, Klitih telah mengalami pergeseran makna, dan tradisi yang awalnya biasa saja menjadi tradisi yang membawa Yogyakarta menuju neraka.

Sebagai catatan akhir, Klitih sama seperti begal dan hyena; mereka bersembunyi dalam kegelapan, menunggu mangsa yang lebih lemah dari mereka dan melakukan penyerangan secara bergerombol di waktu yang bersamaan.

Klitih bagi saya adalah hal yang sangat ironi sebab negara kita adalah negara yang mengandung nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Namun sayang nilai itu belum menyentuh bagian-bagian tergelap di Indonesia, sebab sepertinya, dalam kegelapan dan remang-remang cahaya di Indonesia, kemanusiaan dan ketuhanan itu telah mati..

Dan kitalah pembunuhnya.

Baca Juga : Keturunan PKI Boleh Menjadi TNI, dan Masa Depan Indonesia Menjadi Ambigu

Baca Juga : PNS Mungkin Mati, Namun Guru Akan Selamanya Abadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun