Sekarang kata Klitih identik dengan aksi kekerasan yang dilakukan oleh remaja SMP dan SMA yang menuai korban bukan hanya dari kalangan pelajar saja, melainkan mahasiswa dan masyarakat. Dan yang lebih mengerikannya adalah bahwa mereka tidak sendiri melainkan bergerombol serta membawa senjata tajam seperti golok, pedang dan bahak gear motor yang sudah dimodifikasi.
Yang paling menakutkan dari aksi Klitih ini adalah bahwasanya mereka melakukan aksi kekerasan tanpa pandang bulu dan bahkan melakukan penyerangan terhadap orang yang tidak mereka kenal sama sekali.
Pada tahun 2011 sampai 2012 pembacokan marak terjadi, namun pada tahun 2013 Klitih sempat redup sebab polisi mampu meminimalisir aksi kekerasan yang dilakukan oleh kalangan pelajar pada waktu itu.
Klitih tentu sebenarnya sama sekali tidak berbau kekerasan, itu jika kita merujuk pada tahun 2007 disaat nama tersebut masih murni dan masih menjadi tradisi. Namun sekarang nama Klitih tentu sudah jauh berbeda, bahkan pada akhir 2016 lalu, Polda DIY menggunakan istilah Klitih menggunakan klitih untuk mendeskripsikan kekerasan di kalangan pelajar. Yang artinya, Klitih telah mengalami pergeseran makna, dan tradisi yang awalnya biasa saja menjadi tradisi yang membawa Yogyakarta menuju neraka.
Sebagai catatan akhir, Klitih sama seperti begal dan hyena; mereka bersembunyi dalam kegelapan, menunggu mangsa yang lebih lemah dari mereka dan melakukan penyerangan secara bergerombol di waktu yang bersamaan.
Klitih bagi saya adalah hal yang sangat ironi sebab negara kita adalah negara yang mengandung nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Namun sayang nilai itu belum menyentuh bagian-bagian tergelap di Indonesia, sebab sepertinya, dalam kegelapan dan remang-remang cahaya di Indonesia, kemanusiaan dan ketuhanan itu telah mati..
Dan kitalah pembunuhnya.
Baca Juga : Keturunan PKI Boleh Menjadi TNI, dan Masa Depan Indonesia Menjadi Ambigu
Baca Juga : PNS Mungkin Mati, Namun Guru Akan Selamanya Abadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H