Mohon tunggu...
Abdul Azis Al Maulana
Abdul Azis Al Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Mataram

Jika kau bukan anak raja, bukan orang terpandang, maka menulislah.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Aku dan Aku

27 Mei 2021   07:56 Diperbarui: 27 Mei 2021   07:59 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Begitulah pagi ini dimulai, aku dengan sebuah kopi yang telah kuseruput, dengan laptop yang menyanyikan lagu-lagu Iwan Fals, dengan buku-buku berserakan diatas kasurku namun jarang aku baca.

Pagiku selalu dimulai dengan cara yang biasa, tidak ada masalah yang benar-benar berarti selain konflik diriku dengan diriku sendiri, yang mengatakan bahwa aku harus menyerah, dan kalau bisa, mati.

Ya, kerapkali ia muncul didepan diriku semabri berdiri dengan angkuh, ia kemudian akan memegang bahuku dan mendorongku ke tembok. Dan seperti biasa, matanya yang hitam akan menatap lurus kearah mataku.

"Menyerahlah!"

Aku menggeleng.

"Mengapa? Lihat dirimu, tidak ada perkembangan yang berarti, kamu hanya menjadi beban untuk keluargamu sendiri. Lihat! Kau lihat buku itu? Kemana buku itu selama ini? Bukankah buku seharusnya mengantarmu untuk membuka jendela dunia? Namun lihatlah dirimu sekarang, otakmu hanya ada pada kamar ini dan tidak pernah lebih dari itu! Kenapa kamu nggak mati saja?! Kenapa kamu harus ada, kenapa aku harus berada pada manusia lemah kayak kamu!"

Aku diam.

"NGOMONG! Kenapa kamu diam aja? Aku ada dihadapan kamu tolol! Aku ada dihadapan kamu sekarang! Lawan aku, pukul aku, kenapa?! Kamu takut? Kamu lemah, benar kan? Kamu tidak pernah benar-benar mampu untuk memilih, kamu tidak pernah benar-benar konsisten dalam melakukan sesuatu, kamu tidak ada bedanya dengan anjing yang hanya menggongong untuk mendapatkan makanan, atau mungkin kamu lebih rendah daripada itu, kamu bangsat! Kamu telah mati sebelum kamu dilahirkan" ia menghembuskan napasnya yang sepanas api ke wajahku, namun aku hanya diam. Mungkin ia benar, mungkin ia salah, aku tidak tahu. Sebab tidak ada referensi apakah dia benar atau tidak.

Namun dia begitu kuat, ia selalu muncul disaat aku berada pada tempat-tempat sepi, namun terkadang ia juga muncul disaat aku sedang bersosialisasi dengan banyak orang, ia akan berada pada pojokan atau kursi-kursi kosong, menungguku dengan tangan dagu ditopang oleh tangan kanan serta dilengkapi dengan wajah penuh kebosanan.

Sekarang ketika aku menulis ini, ia berada disampingku, ia menatap layar laptop milikku, namun ia diam, ia tidak berkomentar apapun lalu lenyap seperti embun.

Maafkan aku jika kamu harus berada dalam orang sepertiku, maafkan aku karena tidak sesuai apa yang kamu ekspektasikan, namun aku juga berusaha, walau pada akhirnya usahaku juga berakhir sia-sia.

Menyerahlah, ucap dia suatu kali, menatap aku dengan draft novel yang belum aku selesaikan. Beberapa manusia tidak diciptakan untuk menjadi berguna, dan mungkin kamu adalah salah satunya.

"Tidak! Kamu salah!"

"Buktikan kalau kamu berguna"

"Untuk apa? Pada akhirnya kamu akan menyangkal hal itu, pada akhirnya kita akan bertarung lagi, lagi, lagi dan lagi, aku lelah tahu, aku juga lelah dengan diriku sendiri, namun aku percaya semua yang kita jalani sekarang bukanlah akhir, aku sedang berusaha mewujudkan mimpiku juga, aku tahu aku lambat, namun aku sedang berusaha"

"Ya, aku tahu, kau juga telah terjatuh berkali-kali, namun aku ingin menanyakanmu sesuatu; jika pada akhirnya apa yang kamu perjuangkan sia-sia, kau akan bagaimana? Ujung-ujungnya aku akan muncul dihadapan kamu lagi, memarahi kamu lagi, dan kamu tahu? Aku capek! Aku sedari dulu menyuruhmu untuk berhenti, namun kenapa kamu nggak berhenti? Selesaikan semua ini, ambil pisau, tusuk dirimu sendiri tepat di jantungmu, bertemulah dengan tuhanmu, bicaralah, bukankah itu yang kamu inginkan? Kamu menginginkan jawaban bukan?"

"Lalu setelah itu apa?"

Dia diam.

"Aku dan kamu sama-sama egois" ucapku "kita berdua menginginkan jawaban, kita berdua ingin instan, padahal proses mengapa kita bertanya begitu panjang, otak kita mengirimkan impuls-impuls dari satu syaraf ke syaraf lainnya, dan...." Aku tidak melanjutkan, kuhembuskan napas, pasrah.

Ia juga diam, ditatapnya aku dengan matanya yang hitam, ia kemudian duduk bersandar pada tembok, napasnya dihembukan dan ia kembali diam.

"Kapan semua ini akan berakhir?" ia bertanya

"Aku tidak tahu"

"Aku lelah"

"Sama, aku juga"

"Blog kamu..."

"Gagal"

"Novel?"

"Gagal juga"

"Jadi?"

"Entahlah, aku nggak ingin berhenti, blog ini seperti kura-kura, ia berjalan dengan lambatnya, dan novelku juga tidak jauh bedanya"

"Kau lupa menulis di Kompasiana"

"Aku tahu, aku tidak lupa karena alarm di handphone telah memberitahuku, aku hanya tidak ingin menulis, mungkin karena moodku sedang rusak"

"Menurutku, hidupmu terlalu banyak aturan"

"Lalu apa? Menyuruhku meminum arak dan menenggak beberapa pil narkotika?"

"Tidak juga"

"Lalu apa?"

"Mungkin hidupmu sebaiknya seperti orang gila, jangan ada aturan, hidup ya hidup, mati ya mati, tidak perlu memikirkan apa yang bukan hakmu"

"aku pernah berpikir seperti itu, namun entahlah, aku selalu percaya bahwa aku akan menjadi seorang penulis yang bisa membuat orang merasa hidup, memiliki makna untuk hidup dan terus bertahan"

"Tapi lihatlah, kamu punya Youtube yang tidak pernah jalan, punya banyak hal yang tidak pernah benar-benar selesai, kau punya banyak novel yang tidak kamu kirimkan ke penerbit, punya blog, bahkan kau juga punya tuhan, apalagi yang tidak kamu miliki?"

"Sudahlah, aku pusing, aku ingin mengerjakan tugas kuliah"

"Apa cerita ini akan kamu post di Kompasiana?"

"Ya"

"Kenapa?"

"Aku memang tidak memiliki pembaca setia, namun aku percaya pada platform itu, masih ada yang menunggu tulisanku, masih ada yang mau berkomentar, masih ada yang mau menanggapi dan masih ada yang mencintai"

"Kamu sok tahu"

"Aku dan kamu sok tahu, kamu mau aku mati agar kita sama-sama menghadap tuhan, kamu mau aku menyerah dan berkata bahwa aku tidak akan sukses. Sama bukan? Aku dan kamu sok tahu akan masa depan yang belum pernah terjadi. Btw, terima kasih untuk pagi ini"

Dia diam, menatap buku yang berserakan di kasurku.

"Apa buku akan membawa kita keliling dunia?"

"BISAKAH KAMU NGGAK BERTANYAAAAAA! AKU MAU POST CERITA INI TOLOOOOL!"

"oke, see you"

Aku menghembuskan napas, kepalaku pening, namun cerita ini  harus tetap aku post, tanpa tahu apakah akan ada yang membaca, menanggapi dan mengambil maknanya. Namun aku hanya ingin menulis, dan tulisan ini buktinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun