Mohon tunggu...
Abdul Azis Al Maulana
Abdul Azis Al Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Mataram

Jika kau bukan anak raja, bukan orang terpandang, maka menulislah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Tanah Omnibus

9 Oktober 2020   15:44 Diperbarui: 9 Oktober 2020   15:45 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu, di saat engkau terbaring di ranjang untuk melahirkan adik kami yang baru. Aku turun ke jalan untuk menyuarakan hak kami yang sudah dibeli atas nama investasi. Kulihat rumah sakit tempat dirmu terbaring sekali lagi dan aku menangis. Aku tahu engkau bukan pelacur, namun aku tidak mau ketika rumah kita digusur, engkau rela melacur.

Ibu, hari ini aku membawa sebotol air minum dari air ledeng yang belum kita bayar. Juga odol pepsodent hasil hutang yang ibu janji akan bayar bulan depan, saat ibu gajian.

Ibu, di saat engkau mengelus perutmu yang kian membuncit, kami telah ada di jalan bersama kawan-kawan dan membawa spanduk keadilan. Dan ketika engkau berteriak dan menjerit untuk sebuah kehidupan, kami disini menjerit untuk Indonesia yang kami pedulikan.

Ibu, teman-temanku berkata ada oknum di antara kami, ada polisi yang menyamar agar menangkap kami yang berbuat onar. Aku takut mereka yang membuat ulah dan membuat kami di posisi salah. Aku takut polisi yang seharusnya mengayomi akan melukai kami. Namun kawan-kawanku berkata kepadaku untuk tenang, sebab katanya kami masih punya TNI. 

Ibu, hari ini aku lihat anak STM menari-nari dan menyanyikan lagu tentang kemenangan. Namun aku takut kami masih tidak bisa menang sebab palu sudah diketuk, dan di tanah Omnibus ini, kami masih berteriak karena kami peduli disaat yang kami demo menyaksikan kami sambil minum secangkir kopi.

Temanku terluka bu, tapi aku baik-baik saja. Gas air mata melayang di udara dan membuat kami menangis dengan terpaksa. Tapi aku berysukur aku menangis hari ini. Sebab aku tidak ingin menangis di hari rumah dan pekuburan ayah digusur atas nama investasi. 

Ibu, di bawah pohon beringin tempat aku menyeka air mataku dan mengobati luka kawanku yang terluka menggunakan betadin. Terkadang aku ingin bertanya kepada para pejabat dan pak polisi: Apa yang ada dipikiran polisi saat melemparkan gas air mata kepada kami? Apa yang dipikirkan para pejabat saat menggusur rumah kami?

Namun aku takut untuk bertanya, sebab mbak Najwa bertanya saja berpotensi masuk penjara, apalagi aku yang hanya mahasiswa. 

Ibu, hari ini aku diberi eskrim oleh seorang anak kecil dan ia berkata "Terima kasih telah menyuarakan suara kami" lalu pergi meninggalkan kami. Terkadang aku merenung apa yang akan terjadi dengan masa depannya, sebab di tanah Omnibus ini, masa depan kami semakin patut untuk ditanya.   

Ibu, diantara gas airmata yang membuat kami menangis, aku pernah menyesal ikut demo ini. Namun kini aku bersyukur sebab Omnibus menyatukan kami. Dan aku jadi tahu wajah-wajah manusia yang benar-benar peduli pada ibu pertiwi.

Kuusap peluh di keningku dan kembali berdiri. Aku lelah bu, namun aku juga tidak ingin melihat ibu membawa bayi ke tempat kerja sekaligus menyusuinya disana. Aku juga tidak ingin ibu melacur karena UMK tinggal cerita.

Ibu, jangan khawatir, doakan aku agar aku kembali. Kita sama-sama menjerit untuk hal yang kita cintai; Ibu demi adik kami, aku demi ibu pertiwi. Dan bila malam nanti aku tidak kembali, ibu tidak usah bersedih karena lagu Gugur Bunga masih dihafal teman-temanku, dan aku juga tidak akan khawatir sebab ibu yang mengajarkan lagu itu kepadaku.

Ibu, di tanah Omnibus ini aku melihat kendaraan angkuh yang menembakkan air kepada kami. Dan terkadang aku bertanya bu, sebenarnya siapa yang kita perangi? Jika ketidakadilan adalah musuh kita. Hidung ketidak adilan itu sudah kita tahu bagaimana rupanya. Namun bila musuh kita sama-sama umat manusia, akan sampai manakah akhirnya?

Ibu, jauh disana gedung itu begitu congkak berdiri seolah enyah melihat kami. Dan pada jendela itu aku melihat manusia yang lebih congkak lagi, mereka menatap kami sembari minum secangkir kopi.

Aku muak dan marah bu, sampai aku ingin mengambil batu dan melemparnya dari sini, namun aku tahu bahwa kekerasan akan lahirkan kekerasan. Namun kalau kami tidak anarkis, masalah ini tidak akan habis-habis.

Bu, mungkin aku mati, namun kebenaran akan tetap abadi di dalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun