Manusia adalah makhluk yang diciptakan diantara dua kemungkinan. Tidak selalu bergelimang dalam kemungkaran seperti iblis, dan tidak pula selalu benar sepert malaikat.Â
Manusia diciptakan diantara keduanya, bisa salah dan bisa juga benar. Hal ini dapat terjadi karena manusia dapat mempertimbangkan segala kehendak yang ada pada dirinya dengan dikaruniai akal.Â
Akal inilah yang mengaur dan mengontrol diri setiap manusai atas apa yang hendak ia kerjakan. Disaat dorongan instingtif manusia memerintahkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, akal bekerja untuk mengontrol hasrat itu sesuai dengan norma yang telah dianut.Â
Begitu pula dengan pemecahan masalah sehari-hari, akal berperan sebagai badan eksekutif yang memimpin seluruh kehendak dalam mengambil keputusan. Konsep akal inilah yang familiar dalam ranah ilmuan psikologi dengan istilah intelegensi.
Para ahli telah membuat banyak definisi terkait dengan istilah intelegensi. Menurut Binet, intelegensi adalah kemampuan mengarahkan pikiran dan tindakan, mengubah arah, dan mengkritik diri sendiri.Â
Sedangkan Spearman mendefinisikan intelegensi sebagai kemampuan umum yang melibatkan sebagaian besar pengembangan relasi dan hubungan timbal balik. Terkait dengan definisi ini, Spearman mengembangkan teori two factoryang beranggapan bahwa intelegensi setiap manusia terdiri dari faktor general (umum) dan spesifik (khusus).Â
Kemudian Thurstone mendefinisikan intelegensi sebagai kapasitas untuk menghambat penyesuaian naluriah, membayakan berbagai respons secara fleksibel, dan merealisasikannya menjadi perilaku nyata. Meskipun terdapat definsi intelegensi yang bervariasi, para ahli sepakat bahwa intelegensi merupakan kapasitas untuk belajar dari pengalaman serta beradaptasi dengan lingkungan.
Ada beberapa macam kecerdasan/ intelegensi, yakni kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Intellectual Quotient(IQ), adalah kecerdasan yang umunya dipahami oleh banyak orang. IQ berhubungan erat dengan logika, memori, verbal, linguistik, dan kemampuan lainnya yang bernuansa kognitif.Â
Untuk mngukur IQ dibutuhkan tes yang bersifat holistik dan komprehensif ditinjau dari beberapa macam kemampuan. Ada individu yang menonjol di bidang tertentu namuntidak di bidang kemapuan lainnya. Maka dari itu, tidak bisa dikatakan dengan skor IQ yang rendah berarti seseorang dapat dianggap remeh.
Selain kecerdasan intelektual, dikenal pula kecerdasan emosi atau Emotional Quotient(EQ). Menurut Goleman dalam bukunya "Emotional Intellegence-Why it Can Matter Than IQ?"yang terbit pada tahun 1995, EQ pada intinya adalah kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi, mengontrol dan mengukur emosi diri sendiri, orang sekitar, dan kelompok.Â
Para peneliti bependapat bahwa kecerdasan emosional memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan kecerdasan kognitif. Banyak orang berkata bahwa percuma saja jika mempunyai kepintaran ilmu pengetahuan dan kecerdasan otak saja, namun tidak memiliki etika dalam berperilaku. Kecerdasan emosi mengatur bagaimana seseorang mempunyai kepekaan terhadap lingkungan sosialnya.Â
EQ dapat pula disebut dengan "attitude"atau dalam konsep islam disebut dengan adab. Dalam kalangan cendikiawan muslim, tata cara beretika sangat diutamakan, apalagi dalam perkara menghormati guru. Walaupun murid lebih banyak mengetahui dari guru, murid tetap menunjukkan rasa hormatnya karena ilmunya menuntun untuk berakhlak mulia.
Konsep kecerdasan berikutnya adalah kecerdasan spiritual/ Spiritual Quotient(SQ). Kecerdasan spiritual erat hubungannya dengan kondisi jiwa, batin, dan rohani seseorang.Â
Ada yang beranggapan bahwa SQ adalah kecerdasan tertinggi dari bentuk kecerdasan yang lain. Hal ini dikarenakan, ketika seseorang mempunyai kecerdasan spiritual yang bagus, maka ia dapat memaknai kehidupannya hingga hidup dalam kebijaksanaan.Â
Contoh porsi kecerdasan spiritual dalam keseharian adalah, disaat seseorang tertimpa musibah, ia tidak serta-merta menyalahkan keadaan, namun ia mempercayai bahwa dibalik itu pasti ada hikmah yang dapat dipetik. Ia pun percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupannya sudah diatur sedemikian rupa. Kemudian apabila mendapatkan suatu masalah, ia mampu memecahkannya dengan kemampuan intelektualnya (IQ) dan mengontrol emosinya (EQ).
Berbicara tentang kecerdasan, erat kaitannya dengan otak manusia. Otak dianggap sebagai pusat yang mengatur segala perilaku manusia karena otak secara biologis merupakan sistem syaraf pusat.Â
Salah seorang tokoh dalam psikologi kepribadian pun berpendapat bahwa otak merupakan pusat dari kepribadian manusia. Ia adalah Henry Murray, yang berkata, "No brain no personality", yang dijabarkan sebagai berikut: a). otak mempengaruhi persepsi, b). fisiologis mempengaruhi psikologis, dan c). individu mengerti akan tingkah lakunya.
Teori kepribadian yang diusung Murray menyatakan bahwa otak adalah segalanya dalam mengendalikan perilaku manusia. Selain itu otak juga sebagai pusat intelegensi menurut banyak ahli.Â
Berbeda dengan konsep tersebut, dalam Islam bukan hanya otak yang berperan sebagai pengendali perilaku manusia. Rasulullah Saw pernah bersabda tentang suatu organ tubuh yang jika organ itu baik, maka baik pulalah seluruh organ tubuh. Namun jika organ itu rusak, maka rusak pulalah seluruh organ tubuh. Organ tubuh yang dimaksud disini adalah hati.
Hadist yang diriwayatakan oleh Bukhori dan Muslim ini merupakan dalil bahwa akal dan kemampuan memahami pusatnya adalah di hati dan bukan di otak, demikian yang disimpulkan oleh Imam Nawawi dan Ibnu Batthol. Para ulama pun mengatakan bahwa hati merupakan rajanya anggota tubuh, sedangkan anggota tubuh yang lain ibarat para prajuritnya. (Jami'ul Ulum, 1: 210)
Menurut Imam Ghazali, hati dibedakan menjadi dua, yakni hati yang kasar (fisik) berupa liver/heart,dan hati yang halus (non-fisik) yang dimaksud dengan akal. Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan membangun kecerdasan (akal) adalah membangun kecerdasan hati yang halus. Orang yang berakal adalah orang yang berdzikir, berfikir, dan merasa.Â
Sehingga pada akal terdapat tiga bagian penting, yaitu iman berupa menifestasi dari kecerdasan spiritual (SQ), rasio berupa menifestasi dari kecerdasan intelektual (IQ), dan rasa berupa menifestasi dari kecerdasan emosional (EQ).
Dalam Al-Qur'an, Allah menyebut orang yang berakal dengan istilah ulul albab,yang maknanya orang yang senantiasa berfikir dan mengambil hikmah. Dalam surah Ali Imran ayat 190 Allah berfirman yang artinya:Â
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal (ulil albab)."Ayat tersebut menjelaskan bahwa orang yang memiliki intelegensi tinggi adalah orang yang mampu melihat tanda-tanda kekuasaan Tuhannya di dunia ini, mereka berfikir dan dapat mengambil hikmah darinya.
Suatu proses dalam membangun kecerdasan hati adalah dengan mensinergikan seluruh potensi kecerdasan yang ada pada diri setiap individu, yaitu antara rasio (IQ), rasa (EQ), dan iman (SQ).Â
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan hati merupakan IQ+EQ+SQ. Dengan demikian, manusia dapat berfikir akan hikmah dari penciptaan dirinya dan alam semesta, serta cerdas dalam menjalin hubungan secara horizontal (dengan sesama manusia) maupun hubungan secara vertikal (dengan Sang Pencipta). Jika seseorang telah mampu mengkolaborasikan antara ketiga kecerdasan tersebut, maka ia telah memiliki tingkat intelegensi yang tinggi dan dapat disebut sebagai ulil albab.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H