Mohon tunggu...
Mazaya Aunillah
Mazaya Aunillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktif

Mahasiswi STKIP PGRI Situbondo

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kemenangan yang Harus Diraih

12 November 2021   22:34 Diperbarui: 12 November 2021   22:38 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 "Tingkat gagal tumbuh atau stunting di Indonesia saat ini mencapai 36% , atau 1 dari 3 anak Indonesia (dikutip dari Bank Dunia 2013)"

Indonesia adalah negara no.25 dengan tingkat gagal tumbuh tertinggi di dunia. Tentang ini kita setara dengan negara Bangladesh, Tanzania, Kamboja, dan Nigeria. Negara tetangga seperti Malaysia dan Singapore adalah no.74 dan no.141 dari 149 negara. Mereka jauh lebih baik dari Indonesia.

Angka gagal tumbuh ini sangat berkaitan dengan kondisi ekonomi keluarga Indonesia. Karena kemampuan ekonomi terbatas, banyak keluarga tidak mampu membeli susu, suplemen protein, membeli vitamin untuk ibu dan anak. Gizi anak Indonesia harus dijamin oleh negara.

Jika negara turun tangan, anak-anak bisa mendapat asupan gizi tambahan disekolah. Bisa disediakan makanan bergizi, suplemen dan juga susu untuk mereka seperti di India, atau tablet susu seperti di Thailand. Angka gagal tumbuh anak harus turun setidaknya dibawah rata-rata dunia, yang tahun 2017 lalu diangka 22%. Bahkan seharusnya Indonesia bisa seperti Tiongkok yang sudah dibawah 10%, atau setidaknya seperti Thailand yang 10% dalam waktu dekat.

Contoh lain Indikator  adalah kemampuan orang Indonesia dalam memahami apa yang ia baca.  Nilai ini adalah refleksi dari kualitas pendidikan di Indonesia. Indonesia tidak dapat bersaing gagasan dengan orang lain jika tidak mempunyai kemampuan untuk membaca dalam bahsanya sendiri, Bahasa Indenesia.

Berdasarkan dari hasil tes PISA tahun 2015, 55% dari orang Indonesia telah menyelesaikan pendidikan wajib, secara fungsional dinilai tidak mampu membaca. Sebagai perbandingan, di Vietnam, hanya 14% orang Vietnam yang dinilai secara fungsional tidak mampu membaca.

Ini artinya lebih dari setengah orang Indonesia tidak mampu secara intelek untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kemampuan logis tinggi. Disimpulkan system pendidikan di Indonesia telah memvonis lebih dari setengah orang Indonesia hanya untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar, pekerjaan-pekerjaan dengan produktifitas rendah, pekerjaan-pekerjaan dengan kompleksitas rendah.

Ini menjadi sebuah tantangan besar bagi Indonesia sekarang harus menjadi negar industry. Apalagi sebentar lagi akan menghadapi realita mekanisasi dan otomatisasi industri, industry generasi baru, yang sering disebut generasi ke 4 ini membutuhkan tenaga-tenaga terampil, tenaga-tenaga yang ahli dibidang matematika, Bahasa,  dan computer. Indonesia harus tekan angka anak Indonesia yang secara fungsional dinilai tidak mampu membaca dari 55% menjadi 10%, atau setara dengan Vietnam dalam waktu dekat.

Para pembaca, sahabat, teman, angka-angka diatas memang tidak enak untuk dibaca. Angka-angka ini tentu jauh dari harapan bung Karno, bung Hatta, bung Sjahrir ketika beliau-beliau berjuang mendirikan Republik Indonesia. Apalagi sebenarnya biaya untuk meningkatkan kualitas kesehatan orang Indonesia tidak seberapa dibandingkan dengan jumlah yang setiap tahun dikorupsi secara berjama'ah oleh elit-elit di Jakarta kota-kota besar di Indonesia.

Oleh sebab itu perlu adanya kemajuan berfikir, bertindak bersama demi kemenangan di negeri Indonesia saat ini. Bersatu melawan kebodohan berfikir, bersama mengusir kemiskinan dengan mengandalkan skil, cara berfikir, dan rasa tanggung jawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun