Mohon tunggu...
Mayda Dewinta Putri
Mayda Dewinta Putri Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar SMA

| s e r e n e m i n d |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Januari dan Luka Hati yang Abadi

30 November 2020   14:08 Diperbarui: 30 November 2020   18:32 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

15 Januari,

Derasnya hujan menemani manusia sibuk yang masih berlalu lalang dibawah sinar rembulan. Semilir angin malam yang menyapu lembut menandakan jika pakaian hangat sudah seharusnya menyelimuti tubuh setiap orang saat ini. Di persimpangan jalan, tercium aroma roti hangat berbaur serasi dengan petrikor yang mengudara. 

Bel pintu yang berbunyi, alunan musik pop, panggilan pesanan, atau seseorang yang mengobrol dengan yang lain, membuat suasana kafe tak jauh bising dengan keadaan luar, yang berbeda hanya payung warna-warni tidaklah menjadi pelindung diri saat ini, melainkan atap kokoh sebuah kafe kecil dengan berbagai kue dan roti yang terpajang di etalase, ditambah minuman hangat menjadi menu menggiurkan malam ini.

“Hujan lagi ...” ucap gadis itu pelan. Mata tajamnya menyorot sang rembulan yang bersinar dengan terang, seakan menyombongkan diri jika ia sanggup bertahan dengan hujan deras di luar sana, “Payungku ada di rumah, aku meninggalkannya.”

Valerie, namanya. Seorang remaja di tahun terakhir sekolah menengah atas, tahun berikutnya ia akan menyandang status ‘mahasiswi’ sebuah universitas ternama di negeri itu. Kecerdasannya yang mengagumkan membuatnya menjadi salah satu gadis beruntung yang menerima beasiswa dari universitas impian setiap orang di negeri tersebut.

“Gadis yang kuat” adalah arti dibalik namanya. Setiap kali ia mengingat itu, bibirnya menarik senyum tipis, sendu. Ia sendiri juga berharap hatinya sekuat namanya, tapi kenyataannya, ia kehilangan dirinya sejak hari itu, bulan yang sama, tiga tahun lalu.

“Ke mana perginya mantelmu, Ri?” tanya gadis dengan rambut hitam legamnya mengkhawatirkan kondisi sahabatnya itu, biarpun tertutup, suhu kafe ini tetaplah dingin. “Entahlah, dingin ini sudah terlalu akrab denganku, rasanya aku sudah asing dengan kehangatan.”

“Semua yang terjadi bukan salahmu. Bukan kau yang mengatur apa yang akan terjadi. Jadi … berhenti menyalahkan dirimu Ri, dan bangkitlah!”

Tepat.

Persahabatan 10 tahun yang tak diragukan, Anna dapat membaca Valerie dengan mudah bagai sebuah buku, entah itu pikiran atau perasaannya.

“Kau tak mengerti, Ann.” lirihnya. Jantungnya berdegup kencang, hatinya seakan diremas sesaat memori itu kembali terulang, hujan yang semakin deras tak membuat suasana hati remaja itu membaik. 

Dikenal sebagai pribadi  ceria yang menebarkan kebahagian menjadi beban sendiri bagi seorang Valerie. Menangis bukanlah hal yang ingin ia perlihatkan kepada orang lain, bahkan jika orang lain itu Anna, sahabat karibnya.

“Kau tak akan pernah mengerti penyesalanku, Ann. Bahkan jika itu sudah lewat 5 tahun, 25 tahun, 50 tahun atau sepanjang hidupku, keegoisanku bukanlah hal yang patut kumaafkan.”

Anna melepas mantelnya, membiarkan sahabatnya merasakan kehangatan, setidaknya sedikit untuk saat ini. Valerie mengigit bibir bawahnya, berusaha keras agar kristal bening itu tak keluar dari pelupuk matanya.

“Hari itu, aku bersikap kekanakkan dan egois, memaksanya untuk memahamiku, tak sadar jika aku tak pernah memahaminya sedikitpun, aku terlalu sibuk dengan duniaku sampai lupa siapa yang ada dibalik semua itu mendukungku.” Hembusan nafas terdengar bersamaan kristal bening yang tak dapat ia bendung lagi.

“Ann, tak ada mimpi buruk yang kuinginkan selain hal yang diucapkan pamanku setelah penampilanku sore itu. K-kau tahu perasaanku? Hancur, aku tak lagi mengenal diriku. Semua hilang … bersama ayahku.” isakkan gadis itu terdengar pilu.

3 tahun lalu, yang Valerie anggap hari berbahagianya karena ia berhasil dipilih menjadi pemeran utama pentas drama yang sudah dari dahulu digelar sekolahnya setiap tahun, berakhir dengan berita pahit.

Kecelakaan beruntun di jalan menuju sekolah disebabkan jalanan licin, memakan 5 korban jiwa, salah satunya adalah ayahnya. Valerie yang telah kehilangan ibunya sejak ia bayi menjadikan ayahnya sosok satu-satunya yang ia punya, dan kini sosok itu kembali hilang, meninggalkan Valerie sendiri bersama kerasnya kehidupan yang akan ia hadapi nantinya.

Anna kembali mengusap pelan pundak sahabatnya, “Kau bisa berhenti jika itu menyakiti hatimu, Ri.” Valerie menatap jendela yang memburam karena air hujan, pikirannya masih melalang buana ke hari itu, titik terendah dalam hidupnya.

“Kau tahu tidak, apa penyesalan terbesar dalam hidupku?” Valerie menoleh dengan mata sayu, pandangannya beradu dengan Anna yang menggeleng pelan.

“Fakta bahwa kalimat terakhir yang didengar ayah dariku, bukanlah kalimat yang menyatakan seberapa besar cintaku padanya,” Bola mata hitam itu masih berkaca-kaca, “hal yang kusesali seumur hidupku, Ann.”

Lagu The Greatest Man I Never Knew dari Reba Mcentire mengalun indah, menemani suasana sunyi di antara mereka berdua, tak ada kalimat yang kembali terucap sejak 10 menit lalu, cokelat panas yang mulai dingin tak mendapat atensi dari sang pemilik yang dilanda gundah gulana.

Dalam keheningan itu Anna mencoba mengerti keadaan Valerie sekarang, sosok rapuhnya yang berlindung di balik topeng selama ini, menyembunyikan segala penyesalan dan air mata. Pandangannya kosong dan bibirnya kelu, jejak air mata yang mulai mengering tampak jelas di wajah jelitanya.

“Januari tak lagi sama tanpamu, Ayah.”

Untaian kata itu menjadi akhir percakapan mereka di penghujung malam. Saat ini sunyi adalah jawaban dari semua resah remaja bernama Valerie itu, dinginnya malam tak sebanding dengan sorot matanya. 

Penyesalan tak ada habisnya menorehkan kepedihan. Terkadang, kita harus kehilangan seseorang sebelum pada akhirnya sadar betapa berharganya seseorang tersebut dalam hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun