Mohon tunggu...
Maya SuciRamadhani
Maya SuciRamadhani Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Maya Suci Ramadhani as writer

Selanjutnya

Tutup

Nature

Perkebunan Sawit Itu Tidak Sustainable, Hoax atau Fakta?

6 Februari 2024   23:45 Diperbarui: 6 Februari 2024   23:52 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gahttps://ekonomi.bisnis.com/read/20220717/12/1555791/daftar-produk-kelapa-sawit-yang-gratis-pungutan-ekspor-ada-cpombar

Sustainable. Ada yang tahu apa arti dari kata itu? Lets go to the explaination about it. Sustainable atau sustainability adalah sebuah kata dalam Bahasa Inggris yang artinya 'keberlanjutan'. Pada tahun 1987, Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan sustainability dengan "memenuhi kebutuhan hari ini tanpa mengorbankan hak generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri."

Sustainability adalah sebuah gagasan bahwa sumber daya alam yang kita miliki sebenarnya terbatas, akan habis pada waktunya karena beberapa sumber daya yang tak dapat diperbarui, dan akhirnya menjadi penyebab keruntuhan ekonomi dan sosial. Karena itulah penggunaannya harus diperhatikan agar sumber daya tersebut tidak cepat habis dan manfaatnya dapat dinikmati terus-menerus. 

Gagasan ini sering sekali disuarakan oleh para pecinta lingkungan. Biasanya mereka mensosialisasikan tentang pentingnya menjaga sumber daya alam, mengurangi polusi dan limbah, melestarikan keanekaragaman hayati, mengurangi dampak negatif terhadap ekosistem, serta penggunaan energi terbarukan.

Lalu apa hubungannya dengan Perkebunan Sawit? Kelapa sawit sendiri merupakan komoditas dengan produktivitas tertinggi di antara minyak nabati lainnya seperti minyak lobak dan minyak bunga matahari. Penggunaan minyak sawit yang beragam membuat permintaan terhadap minyak sawit semakin tinggi, baik di dalam maupun luar negeri. Permintaan yang semakin tinggi inilah yang membuat banyak masyarakat bahkan pemerintah berusaha memperluas jumlah perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Studi Fahmudin dan Gunarso (2019) menunjukan bahwa sebanyak 23 persen perkebunan sawit di Indonesia berasal dari lahan pertanian (agroforestry), sedangkan sisanya berasal dari semak belukar dan padang rumput. Dan itulah salah satu alasan yang menyebabkan perkebunan sawit sering kali dikatakan sebagai perusak ekosistem hutan, yang artinya Perkebunan sawit tidak sustainable. Tapi apa benar seperti itu?

Berdasarkan UU 41/1999 tentang Kehutanan, Indonesia sudah mengklasifikasi mana hutan yang dapat dikonversi (deforestable) mana hutan yang harus dipertahankan (non deforestable) yang disebut dengan hutan konservasi dan hutan lindung. Lalu berdasarkan Statistik Kehutanan (2018) menunjukkan luas hutan konservasi mencapai 17.35 juta hektar dan luas hutan lindung mencapai 23.91 juta hektar, atau proporsi keduanya mencapai 44 persen dari total hutan Indonesia.

Kelapa sawit bukan merupakan ekosistem hayati sebagaimana hutan. Hewan-hewan yang bisa hidup di perkebunan kelapa sawit pun rata-rata hanya hewan perusak tanaman, seperti babi, ular, dan tikus. Dari sini mari kita bertanya kembali, apa iya kebun sawit merusak ekosistem hutan dan membahayakan keberagaman hayati? Rasanya kurang tepat ya.

Kemudian mari coba kita bandingkan kelapa sawit dengan komoditas minyak nabati lainnya seperti minyak bunga matahari. Kelapa sawit bisa bertahan hidup selama 25 tahun hingga 30 tahun. Selama itu pula sawit tetap menjadi pohon untuk menahan hantaman panas matahari, penguapan terbatas dan kalau ada air hujan dapat menyerap air. Sedangkan bunga matahari yang banyak diproduksi di Eropa dipanen setiap 6 bulan, dan setelah itu perlu lahan baru untuk menanam dengan cara membuka lahan hutan.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) juga pernah menjelaskan bahwa penggunaan lahan untuk kelapa sawit hanya sebesar 17 juta hektare, sedangkan penggunaan lahan di dunia untuk minyak nabati lain mencapai 278 juta hektare. Dari sini kita bisa membuktikan bahwa tanaman kelapa sawit jelas lebih ramah dari sisi lingkungan jika dibandingkan dengan nabati lainnya. Penanaman sawit juga selalu mengacu pada kaidah-kaidah lingkungan.

Sekarang mari kita bicarakan soal pembukaan lahan baru sawit. Selama ini pembukaan lahan baru sawit selalu dijadikan sebagai penyebab utama kebakaran hutan. Padahal kenyataannya berdasarkan data Global Forest Watch (2019) menunjukkan bahwa sekitar 68 persen titik api ternyata berada di luar konsesi sawit. Sementara itu, titik api di konsesi industri sawit relatif sedikit hanya sebesar 11 persen, atau lebih sedikit dibandingkan dengan titik api di konsesi industri pulpwood (16 persen). Selain itu perkebunan sawit juga lebih banyak fokus kepada peningkatan produktivitas di lahan yang sudah ada. Jadi sudah bisa dipastikan bahwa perkebunan sawit sebagai penyebab utama kebakaran hutan adalah hoax semata.

Ada banyak penelitian tentang perkebunan sawit. Salah satunya penelitian Coster (1938), yang menyatakan bahwa tingkat evapotranspirasi yang menunjukkan kebutuhan air pada kebun sawit lebih rendah dibandingkan dengan bambu, lamtoro, akasia, sengon, pinus dan karet. Lalu pada tahun 2010 penelitian Makonnen & Hoekstra juga menyebutkan kebutuhan air pada kelapa sawit untuk menghasilkan 1 liter biodiesel lebih rendah dibandingkan kebutuhan air kelapa, rapeseed, dan kedelai. Ada lagi Penelitian Pasaribu et al (2012), yang menunjukkan persentase curah hujan yang digunakan kelapa sawit juga lebih rendah dibandingkan dengan mahoni dan pinus.

Dari penelitian-penelitian tersebut jelas membuktikan bahwa sawit tergolong tanaman yang paling hemat air, bahkan biomassa pada kebun sawit  meningkat dengan semakin tua umur kelapa sawit dan memiliki peran penting dalam meningkatkan kesuburan tanah. Selain itu fakta empiris menunjukkan kebun sawit di Indonesia sudah dibudidayakan sejak lebih dari satu abad lalu yang masih berbentuk kebun dan hingga kini tidak berubah menjadi gurun. 

Masih ada 1 lagi fakta menarik yang mungkin belum banyak orang tahu. Nyatanya perkebunan sawit punya aturan ketat demi menjaga berkelanjutan lingkungan dan ada lembaganya, yaitu RSPO. RSPO merupakan singkatan dari Roundtable on Sustainable Palm Oil, yaitu sebuah asosiasi nirlaba yang memberi sertifikasi berkelanjutan berskala internasional. Asosiasi ini mempersatukan berbagai organisasi industri kelapa sawit dalam satu tujuan, bersama-sama membuat dan mengaplikasikan standar internasional demi mencapai penanaman dan pemrosesan kelapa sawit berkelanjutan (sustainable palm oil). Implementasi RSPO terus diawasi oleh berbagai pihak mulai dari anggota asosiasi, LSM, pers, dan pemerintah.

Sasaran RSPO berfokus pada pengurangan kerusakan lingkungan terhadap penggundulan hutan, menjaga keanekaragaman hayati, dan menghargai hak dan kehidupan masyarakat sekitar yang bergantung pada produk hutan. Perusahaan yang telah mendapat pengakuan dari RSPO pun memiliki berbagai keuntungan karena mereka bisa menggunakan merek dagang RSPO. Hal ini memperlancar akses dan proses penjualan ke pasar internasional, meningkatkan pendapatan, dan mengurangi risiko konversi lahan.

Jadi kesimpulannya, perkebunan sawit itu tidak sustainable, apakah hoax atau fakta? Mari kita serahkan jawabannya kepada para pembaca kali ini. Namun apapun jawabannya, semoga selanjutnya perkebunan sawit tidak lagi dipandang sebelah mata oleh dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun