Ada banyak penelitian tentang perkebunan sawit. Salah satunya penelitian Coster (1938), yang menyatakan bahwa tingkat evapotranspirasi yang menunjukkan kebutuhan air pada kebun sawit lebih rendah dibandingkan dengan bambu, lamtoro, akasia, sengon, pinus dan karet. Lalu pada tahun 2010 penelitian Makonnen & Hoekstra juga menyebutkan kebutuhan air pada kelapa sawit untuk menghasilkan 1 liter biodiesel lebih rendah dibandingkan kebutuhan air kelapa, rapeseed, dan kedelai. Ada lagi Penelitian Pasaribu et al (2012), yang menunjukkan persentase curah hujan yang digunakan kelapa sawit juga lebih rendah dibandingkan dengan mahoni dan pinus.
Dari penelitian-penelitian tersebut jelas membuktikan bahwa sawit tergolong tanaman yang paling hemat air, bahkan biomassa pada kebun sawit meningkat dengan semakin tua umur kelapa sawit dan memiliki peran penting dalam meningkatkan kesuburan tanah. Selain itu fakta empiris menunjukkan kebun sawit di Indonesia sudah dibudidayakan sejak lebih dari satu abad lalu yang masih berbentuk kebun dan hingga kini tidak berubah menjadi gurun.Â
Masih ada 1 lagi fakta menarik yang mungkin belum banyak orang tahu. Nyatanya perkebunan sawit punya aturan ketat demi menjaga berkelanjutan lingkungan dan ada lembaganya, yaitu RSPO. RSPO merupakan singkatan dari Roundtable on Sustainable Palm Oil, yaitu sebuah asosiasi nirlaba yang memberi sertifikasi berkelanjutan berskala internasional. Asosiasi ini mempersatukan berbagai organisasi industri kelapa sawit dalam satu tujuan, bersama-sama membuat dan mengaplikasikan standar internasional demi mencapai penanaman dan pemrosesan kelapa sawit berkelanjutan (sustainable palm oil). Implementasi RSPO terus diawasi oleh berbagai pihak mulai dari anggota asosiasi, LSM, pers, dan pemerintah.
Sasaran RSPO berfokus pada pengurangan kerusakan lingkungan terhadap penggundulan hutan, menjaga keanekaragaman hayati, dan menghargai hak dan kehidupan masyarakat sekitar yang bergantung pada produk hutan. Perusahaan yang telah mendapat pengakuan dari RSPO pun memiliki berbagai keuntungan karena mereka bisa menggunakan merek dagang RSPO. Hal ini memperlancar akses dan proses penjualan ke pasar internasional, meningkatkan pendapatan, dan mengurangi risiko konversi lahan.
Jadi kesimpulannya, perkebunan sawit itu tidak sustainable, apakah hoax atau fakta? Mari kita serahkan jawabannya kepada para pembaca kali ini. Namun apapun jawabannya, semoga selanjutnya perkebunan sawit tidak lagi dipandang sebelah mata oleh dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H