Tatik, wanita berkulit coklat dan berambut keriting lebat itu menundukkan kepalanya di atas sehelai koran yang diletakkan di atas pangkuannya. Dengan kuku-kuku jarinya yang kurus, dia mulai mengacak-ngacak rambutnya, menggoyang-goyangkan kepalanya. “Lihat,” katanya sambil tetap tertunduk, “Dari mana ketombe-ketombe ini datang? Padahal udara sangat dingin dan bersih.”
Aku tersenyum kecut – tentu saja dia tidak dapat melihatku, sambil menghirup secangkir kopi kental ala mesin kopi Philips Cucina miliknya. Aku samasekali tidak jijik melihat butiran-butiran ketombenya yang bertaburan di atas koran seperti tepung. Aku selalu menikmati persahabatan kami, terlebih-lebih, kami sama-sama berada di belahan bumi lain yang sangat jauh dari bumi merah putih.
“Waktu Miss Sixty sale, aku sempat beli sepatu bootnya lho.” kali ini Tatik mengangkat wajahnya. Aku baru sadar, semua yang ada pada wajahnya sangat mungil minimalis. Dia tidak cantik, juga tidak manis. Tapi ada yang eksotik dan alami pada sinar wajahnya.
“Mahal? Keren?” aku mencoba terdengar tertarik. Begitulah, aku tidak pernah tertarik dengan apa pun juga semenjak aku berada di sini. Aku masih terlalu mencintai matahari dan udara panas ala Indonesia, juga cita rasa makanannya, dan terlebih lagi pada kemudahan hidup yang aku miliki di sana.
Aku juga tidak sengaja mengamati paha Tatik, dia hanya memakai kaos terusan sampai sepaha. Terlihat jelas kulitnya penuh bekas luka seperti bisul dan bekas gigitan nyamuk yang kecoklatan, bahkan kehitaman. Kali ini aku juga santai saja, sama-sama besar di kampung, sama-sama dari Indonesia. Pemandangan yang biasa saja bagi kami…
“Hampir 100 Euro. Cantik, enak dipakai.” jawabnya sambil perlahan-lahan bangkit, setelah terlebih dahulu melipat koran berisi hasil panen ketombenya, kemudian tubuh rampingnya berjalan ke tempat sampah, dan berakhirlah di sana! Wih, aku agak lega juga, karena takut ketombe itu terbang dan berpindah ke rambutku.
“Patrick sebentar lagi pulang, kami mau dinner di Golden Lotus.” Tatik kembali duduk di sofa coklat di ruang tamunya yang mungil dan minim perabot. “Sayang sekali, kamu harus kerja malam ini. Kamu bisa saja ikut makan malam dengan kami.”
“Namanya juga pelajar miskin, aku butuh uangnya. Ik ga naar Parisj.” aku sedikit bersemangat membayangkan Paris, ada Marie dan Philippe di sana, dan dua jagoan cilik mereka. Mereka keluarga kecil yang menjadi temanku sejak bertahun-tahun yang lalu.
Kunci pintu depan terdengar dibuka dari luar, Patrick, suami Tatik melangkah masuk, tersenyum lebar dan menyapa dengan ramah. “Hi, allez goed met julie?”
Patrick, cukup tampan, Hollander sejati yang sangat rendah hati. “Wat will jij drinke schat, en jij Mona?” tanyanya lagi. Jelas sekali, Patrick sangat mencintainya, Tatik yang seharusnya bertanya, karena Patrick yang baru saja tiba di rumah setelah seharian bekerja. Aku takjub dalam hati, apakah ini salah satu keuntungan menikahi pria berkulit putih?
“Patrick sayang, Tatik sudah minum teh panas seharian. Tidak usah bikin apa-apa lagi. Tunggu ya, Tatik ganti baju dulu. Nah, ayo ajak Mona bicara-bicara.” Tatik menjawab dalam bahasa Indonesia dengan logat Jawa yang sangat kental, dan Patrick selalu merasa Tatik sangat seksi setiap kali logat Jawa itu terlibat dalam percakapan mereka.
Aku berbasa-basi sebentar dengan Tatik, dia sempat membuka beberapa buku-buku yang memuat lukisan Rembrandt, pelukis Belanda yang sangat terkenal, dan menunjukkannya padaku. “Aku sangat mencintai seni, mungkin Tatik tidak terlalu suka. Tapi lukisan-lukisan ini sangat besar, dia pelukis yang sangat berpengaruh dalam sejarah Dutch Golden Age. Orang Eropa selalu suka.”
Tatik telah turun dari lantai atas, melalui tangga kayu yang dilapisi karpet hijau seperti lapangan golf. Tatik terlihat sangat manis, walaupun tidak ada yang bisa dilakukannya untuk membuat rambut keriting berantakannya terlihat rapi, tapi paling tidak sweater wol ketat berwarna biru itu sangat anggun di badannya. Dipadu dengan rok hitam mini ketat, stocking hitam, dan boot setinggi lutut – ala Miss Sixty? Ah, Golden Lotus benar-benar telah menantinya.
“Ooh, nee, nee Tatik!” Patrick kedengaran protes. Aku menoleh dengan heran, apa yang nee? Patrick melangkah maju menyambut Tatik, mengelus pahanya yang dibalut stocking. “Tatik sayang, kenapa harus pakai stoking? Kulit kakimu sangat indah, show me some skin, darling!”
Tuhan, Patrick mencintainya ke setiap inchi kulitnya!
once again, God knows the best
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H