Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menyeret perhatian publik luas beberapa waktu belakangan ini. Mulai dari proses yang dikebut di tengah pandemi, hingga dengan klausul-klausul yang dianggap rentan disusupi pemahaman terlarang. Belakangan, muncul juga kesan saling berhadap-hadapannya rakyat dengan partai politik (parpol) "pengusung" RUU HIP yang juga parpol pengusung utama pemerintah, yakni PDIP vs wong cilik.
Kisruh yang bikin riuh negeri di tengah situasi pandemi ini barangkali bisa dicegah apabila semua pihak bisa menahan diri. Seperti yang selalu diungkapkan Partai Demokrat sejak awal pandemi menyerbu negeri ini, semua pihak harus fokus dan mengutamakan penanganan dan penyelesaian pandemi Covid-19. Tapi apa daya, ungkapan lama mengatakan, "rambut sama hitam, isi kepala berbeda-beda".
Atas dasar itu, sejak awal Partai Demokrat menarik semua anggota parlemennya yang terlibat dalam Panja dan pembahasan RUU Â yang tidak berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19. Tercatat, Partai Demokrat menarik diri dari tiga pembahasan RUU. Adapun tiga RUU tersebut yaitu RUU Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker), RUU Minerba, dan RUU HIP.
Jika kita jernih melihat duduk masalah, alasan Demokrat menarik diri dari tiga pembahasan RUU ini sangat sederhana. Tidak perlu analisa politik atau pun analisis konspirasi untuk menyelami maksud dan tujuan dibaliknya.
Logika sederhananya, sebuah pembahasan regulasi (RUU) semestinya melibatkan seluruh stakeholder. Tak hanya melibatkan si pembuat regulasi tapi seharusnya juga melibatkan subjek maupun objek dari sebuah peraturan perundang-undangan tersebut. Apakah dengan adanya pandemi Covid-19 semua stakeholder tersebut bisa dilibatkan?
Jalan Kebangsaan & Persatuan Partai Demokrat
Menyikapi riuh polemik RUU HIP, Partai Demokrat  sebagai partai yang Nasionalis-Religius, memilih jalan dialog kebangsaan. Dialog daring ini melibatkan banyak pihak. Mulai dari tokoh-tokoh lintas agama, praktisi, akademisi, dan lain sebagainya.
Dalam diskusi yang berkembang, Sekjend PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan semua pihak harus terus mengawal dan mengawasi kinerja DPR RI. Jangan sampai ada upaya pihak-pihak tertentu untuk mengajukan RUU lain dengan nama berbeda tapi isinya sama dengan RUU HIP. Dengan tegas Abdul Mu'ti mengatakan sikap organisasinya sejalan dengan Partai Demokrat.
Selanjutnya Natalis Situmorang salah satu tokoh Pemuka Katolik melihat dengan pembahasan RUU ini, bangsa kita seolah-olah mundur.
"Membahas persoalan-persoalan yang sudah tuntas sebelumnya. Kesimpulannya kita harus konsisten dengan Pancasila. Yang terpenting kita harus mencari cara agar bisa mengamalkannya dengan cara yang harus disesuaikan dengan zamannya," tegasnya.
Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan tokoh-tokoh pemuka agama yang lain. Siti Zuhro Presidium KAHMI pun memiliki pandangan yang serupa.
"Sebagai bangsa yang sangat majemuk membuat NKRI sangat rentan. Pancasila hanya butuh dipahami, dihayati, dan diimplementasikan melalui pemikiran dan tindakan. Banyak yang bilang NKRI harga mati, sama dengan Pancasila. Pancasila pun harga mati," katanya.
Anwar Abbas Sekjend MUI Pusat pun menegaskan bahwa MUI menolak RUU HIP.
"Jangan sampai RUU ini disahkan menjadi UU sebelum isinya sesuai dengan nilai-nilai dan semangat Pancasila," tegasnya.
Dalam dialog daring bertema 'Agama dan Pancasila Dalam Merawat Ke-Indonesiaan: Bedah Tuntas RUU HIP', Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) saat membuka dialog menegaskan, menentang praktik-praktik ekploitasi politik identitas yang seringkali dimainkan dalam kontestasi politik. AHY juga menegaskan, Partai Demokrat terbuka dan siap menjadi penyambung lidah rakyat dan umat lintas agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H