Kebijakan pemerintah untuk menaikkan pajak menjadi 12% tengah menjadi topik hangat di tengah masyarakat Indonesia. Langkah ini dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan negara, mendukung pembangunan, dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Namun, di sisi lain, kebijakan ini memicu kekhawatiran bahwa kenaikan pajak justru akan membebani masyarakat, khususnya kelompok ekonomi menengah ke bawah. Dalam artikel ini, mari kita bahas lebih mendalam mengenai dampak positif dan negatif dari kebijakan ini serta apakah langkah ini menjadi solusi yang tepat atau hanya menambah beban baru bagi masyarakat.
Mengapa Pemerintah Menaikkan Pajak?
Â
Pemerintah memiliki sejumlah alasan kuat di balik keputusan untuk menaikkan pajak. Salah satu alasan utamanya adalah kebutuhan untuk meningkatkan penerimaan negara. Dalam beberapa tahun terakhir, anggaran untuk proyek infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan sektor vital lainnya terus meningkat. Pajak menjadi salah satu sumber utama pendapatan negara yang diandalkan untuk memenuhi kebutuhan ini.
Pelaksanaan tarif baru PPN tersebut akan merujuk pada UU HPP yang telah disahkan pada Oktober 2021. Berdasarkan UU HPP Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% diubah menjadi 11% pada 1 April 2022. Lalu, kembali dinaikkan menjadi sebesar 12% paling lambat pada 1 Januari 2025. (CNBC Indonesia)
Selain itu, kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan Indonesia pada utang luar negeri. Dengan penerimaan pajak yang lebih tinggi, pemerintah bisa mendanai program-program pembangunan tanpa harus bergantung pada pinjaman dari luar negeri. Langkah ini dianggap strategis untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional di masa depan.
Namun, banyak pihak yang mempertanyakan apakah waktu pelaksanaan kebijakan ini sudah tepat. Ekonomi masyarakat baru saja mulai pulih dari dampak pandemi COVID-19. Kenaikan pajak dikhawatirkan akan mengurangi daya beli masyarakat, terutama bagi mereka yang berasal dari kelompok berpenghasilan rendah serta pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM).
Perlu digaris bawahi, kenaikan PPN 12% yang berlaku pada awal 2025 hanya berlaku pada barang barang mewah. Â Sri Mulyani selaku menteri keuangan menerangkan bahwa kenaikan PPn 12% tidak berlaku pada barang barang kebutuhan pokok seperti beras, dagng, ikan, susu, gula onsumsi, telur, sayur, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, jasa keuangan, buku, pemakaian listrik, pemakaian air, vaksinasi, dan jasa asuransi.
Kementerian keuangan sendiri tengah menyusun barang barang apa saja yang akan dikenakan PPN 12% seperti pada salah satu wawancara
"Jika diperkirakan, nilai barang dan jasa yang dipungut PPN untuk tahun ini mencapai Rp231 triliun. Meskipun undang undang menyebutkan PPN 11 persen, banyak barang dan jasa yang dibebaskan dari PPN. Hal yang sama juga akan diterapkan jika PPN naik menjadi 12 persen. Kami memperkirakan pembebasan PPN pada tahun depan akan mencapai Rp265,6 triliun" (CNN Indonesia)
Dampak Positif Kenaikan Pajak