Mohon tunggu...
Maya
Maya Mohon Tunggu... Mahasiswi - Blogger - Traveler -

Mahasiswi Fakultas Hukum

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Pasca Reformasi

7 Agustus 2018   10:00 Diperbarui: 7 Agustus 2018   10:03 4441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pengertianpakar.com

Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden kini mulai menghangat menjadi perbincangan di tanah air. Hal ini dikarenakan dengan dilakukannya Uji Materil Pasal 169 huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang dilakukan oleh Perindo dengan Pihak Terkait yakni Bapak Wakil Presiden Jusuf Kalla. Uji materil ini didasarkan pada sosok Jusuf Kalla yang menjadi sosok paling kuat untuk menemani Presiden Joko Widodo untuk maju ke Pilpres 2019. Namun pada Pasal 169 huruf n UU Pemilu yakni: "Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: n. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;" dan dalam Penjelasan Pasal tersebut menyebutkan "Yang dimaksud dengan "belum pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama" adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 (lima) tahun."

Jelas kiranya jika kita membaca secara utuh terkait dengan Pasal 169 huruf n dan penjelasannya tersebut. Dimana seorang calon presiden dan calon wakil presiden tidak dapat mengajukan diri ketika telah menjabat menjadi Presiden ataupun wakilpresiden dijabatan yang sama selama 2 (dua) periode baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut. Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden kali ini adalah kali keduanya, dimana sebelumnya JK pernah menjadi Wakil Presiden pada masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada periode 2004-2009.

Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan" sehingga jelas, UUD 1945 memberikan batasan kepada Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden hanya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan yang artinya, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut. Karena jika melihat Naskah Komperhensiv Perubahan Undang-Undang Dasar Valina Singka Subekti dari Fraksi Utusan Golongan menyatakan "Karena itu, kami setuju dengan beberapa usulan-usulan yang sudah diberikan oleh fraksi-fraksi lain. Misalnya mengenai pembatasan kekuasaan Presiden itu di Pasal 7. Itu mesti diberikan penegasan mengenai masa jabatan pembatasan jabatan Presiden itu hanya untuk dua kali. Apakah itu berturut-turut ataukah tidak berturut-turut, hanya boleh menjabat sebagai Presiden untuk dua kali masa jabatan saja" dan pendapat lain dari F-PBB melalui juru bicaranya, Hamdan Zoelva mengatakan "Pasal 7: "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan." Jadi sama dengan yang lain"

Jika membaca sejarah dari lahirnya Pasal 7 UUD 1945 dalam Naskah Komperhensif Perubahan UUD 1945. Pasal 7 menyangkut batasan masa jabatan Presiden usulan kami rumusan kalimatnya sesuai sebagaimana apa yang tercantum dalam Tap Nomor XIII/MPR/1998. Jadi sepenuhnya kata perkata kami ambil dari bunyi yang ada dalam Tap Nomor XIII/MPR/1998 itu. Hal ini diperkuat oleh Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi yakni Mahfud MD bahwa masa jabatan seorang Presiden dan Wakil Presiden hanyalah 2 kali periode dan setelahnya tidak dapat dipilih kembali. Karena jika Jabatan Presiden dan Wakil Presiden tidak dibatasi mengingat besarnya kewenangan Presiden dan Wakil Presiden selalu muncul pemikiran untuk membatasi kekuasaannya. Misalnya melalui mekanisme pembatasan masa jabatan. Ada tiga konsep pembatasan: tidak ada masa jabatan kedua (no re-election); tidak boleh ada masa jabatan yang berlanjut (no immediate re-election); dan maksimal dua kali masa jabatan (only one re-election). Sebenarnya ada lagi konsep masa jabatan yang keempat, yaitu tidak ada pembatasan masa jabatan (no limitation re-election). Tetapi tentu saja konsep yang terakhir tidaklah sesuai sistem presidensial yang pastinya mensyaratkan pembatasan masa jabatan presiden.

No re-election diterapkan oleh Filipina yang membatasi masa jabatan presiden hanya satu kali enam tahun. Only one re-election diterapkan di Amerika Serikat (AS), utamanya setelah amendemen ke-22 yang membatasi masa jabatan presiden maksimal dua kali periode. Sedangkan konsep no limitation re-election pernah terjadi di praktik ketatanegaraan Indonesia sebelum periode Soeharto. Soekarno, presiden pertama menjabat mulai tahun kemerdekaan 1945 hingga 1966, sedangkan Soeharto mulai efektif mengambil alih kekuasaan sejak 1966 hingga 1998. Soeharto terus terpilih kembali hingga berhenti di tahun 1998. Presiden pertama AS George Washington tidak hanya menolak masa jabatan ketiga, namun awalnya pernah pula mencoba menolak masa jabatan keduanya.

Sejak itu masa jabatan presiden maksimal hanya dua periode menjadi konvensi ketatanegaraan. Hanya Franklin D Roosevelt yang melanggar tradisi tersebut dengan menjabat periode ketiga mulai 1940, bahkan periode jabatan keempat sejak 1944. Pasal II Section 1 Konstitusi AS mengatur seseorang menjadi presiden untuk masa jabatan empat tahun, tanpa adanya batasan maksimal masa jabatan. Baru pada tahun 1951, melalui amendemen konstitusi ke- 22, pembatasan maksimal dua kali masa jabatan kepresidenan diterapkan. Lebih jelas, amendemen ke-22 juga mengatur bahwa seseorang yang telah menjadi presiden atau pejabat presiden lebih dari 2 tahun, separuh periode jabatan presiden, hanya dapat dipilih kembali untuk maksimal satu periode jabatan kepresidenan.

Itu artinya, dalam kondisi normal seseorang maksimal dapat menjadi presiden selama 8 tahun, atau jika dalam kondisi luar biasa, maksimal 10 tahun. Sejak penerapan amendemen ke-22 muncul beberapa pemikiran terkait dengan batasan masa jabatan kepresidenan. Presiden Harry Truman, Dwight Eisenhower dan Ronald Reagan berpendapat pembatasan maksimal dua periode jabatan kepresidenan bertentangan dengan kebebasan rakyat untuk memilih presiden yang mereka inginkan Di sisi lain, Jimmy Carter justru mengusulkan masa jabatan presiden 6 tahun, tanpa dapat dipilih kembali (nonrenewable), sebagaimana yang saat ini diterapkan di Filipina.

Carter berpendapat dengan sistem maksimal satu kali masa jabatan tersebut, seorang presiden akan lebih fokus pada kebijakan jangka panjang yang lebih bermanfaat bagi rakyat-bangsa, serta tidak semata-mata terperangkap dalam upaya untuk memenangkan masa kedua jabatan kepresidenannya. Konstitusi AS secara tegas mengatur kapan masa jabatan kepresidenan bermula.

Ketika Konstitusi pertama kali diterapkan, Kongres menetapkan presiden memulai masa kerjanya sejak 4 Maret 1789, meskipun sebenarnya George Washington tidak mengucapkan sumpahnya hingga 30 April 1789. Pada amendemen ke-20, diatur seorang dilantik menjadi presiden sejak 20 Januari. Pada 1937, Franklin D Rossevelt menjadi presiden pertama yang mengucapkan sumpah jabatannya pada tanggal 20 Januari. Meski tidak diatur dalam konstitusi, pengucapan sumpah janji biasanya dipimpin oleh ketua Mahkamah Agung. Dalam konstitusi AS, ada tiga syarat menjadi presiden. Umur minimal 35 tahun; harus warga negara asli Amerika (natural-born citizen), orang Amerika yang lahir sebagai warga negara bangsa lain tidak dapat menjadi presiden; dan harus berdomisili di AS minimal 14 tahun.

Syarat-syarat konstitusional tersebut jelas menunjukkan niat untuk memilih calon presiden yang sudah matang, berpengalaman dan mengerti kondisi nyata Amerika. Syarat kewarganegaraan tentulah untuk menghindari presiden yang loyalitas kenegaraannya ganda. Para ahli tata negara berdebat lama apakah seseorang yang lahir di luar negeri, dengan orang tua Amerika, termasuk dalam kategori "a natural-born citizen"? Meskipun mayoritas berpendapat seharusnya orang demikian berhak mencalonkan diri sebagai presiden, belum ada aturan resmi yang menguatkan dasar hukumnya.

Lain lagi halnya untuk menjadi calon presiden yang tercantum di kertas suara. Untuk calon presiden dari partai besar, otomatis namanya akan terpampang, sedangkan calon dari partai kecil harus memenuhi syarat petisi, yang besarannya berbeda di masing-masing negara bagian. Syarat bagi kandidat dari partai kecil---mengumpulkan petisi dukungan---juga berlaku bagi calon presiden independen. Beberapa negara bagian bahkan mengizinkan write-in votes, yaitu pilihan yang diberikan kepada calon presiden yang sama sekali tidak tertulis dalam surat suara.

Di Tanah Air, soal masa jabatan dan syarat calon presiden ini tentu juga menjadi isu yang menarik. Terkait masa jabatan, sebagaimana dipaparkan di atas, awalnya kita tidak membatasi maksimal seorang presiden dapat menduduki kembali jabatannya. Baru setelah Reformasi 1998, melalui ketetapan MPR, yang kemudian dikuatkan dengan Perubahan Pertama UUD 1945, masa jabatan presiden dibatasi untuk maksimal dua periode masa jabatan. Dalam praktiknya, setiap masa jabatan berawal pada tanggal 20 Oktober. Lebih jelasnya, setelah presiden baru mengucapkan sumpah jabatan maka pada tanggal yang sama presiden yang lama berakhir masa jabatannya. Terkait dengan transisi pemerintahan ini tentunya pengaturan peralihan kekuasaan penting untuk diatur lebih jauh, sebagaimana AS mengaturnya dalam Presidential Transition Act.

Meskipun demikian, sebelum diatur sekalipun, konvensi dan praktik ketatanegaraan tentu bisa menjadi rujukan. Kita memang belum pernah mengalami masa peralihan yang sangat baik. Rata-rata peralihan kekuasaan presiden kita berjalan melalui proses yang kisruh, utamanya sebelum Reformasi 1998. Pasca 1998, Presiden Gus Dur menerima mandat kepresidenan melalui proses yang demokratis di MPR, dan didahului dengan sikap legawa Presiden Habibie yang tidak mencalonkan diri lagi karena laporan pertanggungjawabannya ditolak MPR. Selanjutnya, kita ingat Presiden Megawati dipilih melalui proses Sidang istimewa MPR, yang lebih dulu memberhentikan Presiden Gus Dur pada 2001. Kemudian proses pemilihan Presiden SBY adalah babak baru demokrasi ketika Indonesia memilih presiden secara langsung pada 2004 dan 2009. Tetapi, kita menyaksikan, meskipun secara institusional ketatanegaraan peralihan itu berjalan demokratis, tampak ada persoalan peralihan personal yang masih tidak mulus. Sehingga adanya pembatasan kekuasaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dengan masa jabatan yang pasti dan mewujudkan sistem check and balances dengan antar lembaga negara dan juga meminimalisir terjadinya abuse of power terhadap sebuah kekuasaan yang dipegangnya.

Sehingga Jika JK masih terpanggil untuk mengabdikan dirinya kepada Negara, maka sikap seorang JK seharusnya adalah maju sebagai Calon Presiden bukan sebagai Calon Wakil Presiden kembali. Namun hal ini akan cukup menyulitkan dirinya mengingat Koalisi yang terjadi saat ini yang mulai menemukan sosok untuk diusung pada Pilpres 2019 mendatang. Langkah dengan tidak mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Presiden kembali adalah sia-sia karena KPU akan menolak permohonan pendaftaran karena tidak sesuai dengan UU Pemilu.

Karena mengetahui hal demikian JK melakukan Uji Materil terhadap Pasal 169 huruf n UU Pemilu agar menafsirkan bahwa Pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini bertujuan agar JK dapat maju kembali sebagai Calon Wakil Presiden bersama jokowi. Padahal Pasal 169 huruf n UU Pemilu pernah dilakukan uji materil ke MK. Dalam dua putusan itu, yakni Putusan MK Nomor 36/PUU-XVI/2018 dan Nomor 40/PUU-XVI/2018, Mahkamah menyampaikan kesimpulan yang sama mengenai dua pasal yang dimohonkan pengujiannya. Mahkamah menyatakan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum alias legal standing dan karenanya pokok permohonan tidak dipertimbangkan. Mahkamah juga menilai pemohon tidak dirugikan hak konstitusionalnya untuk memilih calon presiden atau wakil presiden. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan para pemohon tak dapat menjelaskan dalil-dalil yang diajukan sehubungan dengan kedudukan hukumnya. Salah satu dalil yang diajukan pemohon, yakni pembayar pajak yang karenanya berhak mempersoalkan undang-undang, dinilai tidak cukup oleh Mahkamah.

 Tidak cukup dengan hanya mendalilkan sebagai pembayar pajak tanpa lebih dulu menjelaskan kerugian konstitusional yang nyata atau potensial dan terdapat hubungan sebab-akibat antara kerugian hak para pemohon dan bagian-bagian tertentu yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya ke Mahkamah. Menurut majelis, yang memiliki legal standing untuk mengajukan uji materi dua pasal ini adalah orang yang pernah menjabat presiden ataupun wakil presiden selama dua periode dalam masa jabatan yang tidak berturut-turut. Para pemohon bukanlah orang yang pernah menjabat presiden atau wakil presiden selama dua kali masa jabatan yang sama secara tidak berturut-turut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun