Di Tanah Air, soal masa jabatan dan syarat calon presiden ini tentu juga menjadi isu yang menarik. Terkait masa jabatan, sebagaimana dipaparkan di atas, awalnya kita tidak membatasi maksimal seorang presiden dapat menduduki kembali jabatannya. Baru setelah Reformasi 1998, melalui ketetapan MPR, yang kemudian dikuatkan dengan Perubahan Pertama UUD 1945, masa jabatan presiden dibatasi untuk maksimal dua periode masa jabatan. Dalam praktiknya, setiap masa jabatan berawal pada tanggal 20 Oktober. Lebih jelasnya, setelah presiden baru mengucapkan sumpah jabatan maka pada tanggal yang sama presiden yang lama berakhir masa jabatannya. Terkait dengan transisi pemerintahan ini tentunya pengaturan peralihan kekuasaan penting untuk diatur lebih jauh, sebagaimana AS mengaturnya dalam Presidential Transition Act.
Meskipun demikian, sebelum diatur sekalipun, konvensi dan praktik ketatanegaraan tentu bisa menjadi rujukan. Kita memang belum pernah mengalami masa peralihan yang sangat baik. Rata-rata peralihan kekuasaan presiden kita berjalan melalui proses yang kisruh, utamanya sebelum Reformasi 1998. Pasca 1998, Presiden Gus Dur menerima mandat kepresidenan melalui proses yang demokratis di MPR, dan didahului dengan sikap legawa Presiden Habibie yang tidak mencalonkan diri lagi karena laporan pertanggungjawabannya ditolak MPR. Selanjutnya, kita ingat Presiden Megawati dipilih melalui proses Sidang istimewa MPR, yang lebih dulu memberhentikan Presiden Gus Dur pada 2001. Kemudian proses pemilihan Presiden SBY adalah babak baru demokrasi ketika Indonesia memilih presiden secara langsung pada 2004 dan 2009. Tetapi, kita menyaksikan, meskipun secara institusional ketatanegaraan peralihan itu berjalan demokratis, tampak ada persoalan peralihan personal yang masih tidak mulus. Sehingga adanya pembatasan kekuasaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dengan masa jabatan yang pasti dan mewujudkan sistem check and balances dengan antar lembaga negara dan juga meminimalisir terjadinya abuse of power terhadap sebuah kekuasaan yang dipegangnya.
Sehingga Jika JK masih terpanggil untuk mengabdikan dirinya kepada Negara, maka sikap seorang JK seharusnya adalah maju sebagai Calon Presiden bukan sebagai Calon Wakil Presiden kembali. Namun hal ini akan cukup menyulitkan dirinya mengingat Koalisi yang terjadi saat ini yang mulai menemukan sosok untuk diusung pada Pilpres 2019 mendatang. Langkah dengan tidak mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Presiden kembali adalah sia-sia karena KPU akan menolak permohonan pendaftaran karena tidak sesuai dengan UU Pemilu.
Karena mengetahui hal demikian JK melakukan Uji Materil terhadap Pasal 169 huruf n UU Pemilu agar menafsirkan bahwa Pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini bertujuan agar JK dapat maju kembali sebagai Calon Wakil Presiden bersama jokowi. Padahal Pasal 169 huruf n UU Pemilu pernah dilakukan uji materil ke MK. Dalam dua putusan itu, yakni Putusan MK Nomor 36/PUU-XVI/2018 dan Nomor 40/PUU-XVI/2018, Mahkamah menyampaikan kesimpulan yang sama mengenai dua pasal yang dimohonkan pengujiannya. Mahkamah menyatakan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum alias legal standing dan karenanya pokok permohonan tidak dipertimbangkan. Mahkamah juga menilai pemohon tidak dirugikan hak konstitusionalnya untuk memilih calon presiden atau wakil presiden. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan para pemohon tak dapat menjelaskan dalil-dalil yang diajukan sehubungan dengan kedudukan hukumnya. Salah satu dalil yang diajukan pemohon, yakni pembayar pajak yang karenanya berhak mempersoalkan undang-undang, dinilai tidak cukup oleh Mahkamah.
 Tidak cukup dengan hanya mendalilkan sebagai pembayar pajak tanpa lebih dulu menjelaskan kerugian konstitusional yang nyata atau potensial dan terdapat hubungan sebab-akibat antara kerugian hak para pemohon dan bagian-bagian tertentu yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya ke Mahkamah. Menurut majelis, yang memiliki legal standing untuk mengajukan uji materi dua pasal ini adalah orang yang pernah menjabat presiden ataupun wakil presiden selama dua periode dalam masa jabatan yang tidak berturut-turut. Para pemohon bukanlah orang yang pernah menjabat presiden atau wakil presiden selama dua kali masa jabatan yang sama secara tidak berturut-turut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H