Air mata Amelia tak berhenti, sedikit mengeluarkan suara seperti tangis yang tertahan. Ia tak banyak bicara, hanya menginginkan pulang. Aa' Semar mengijinkan.
Kami berpamitan bersama, sesekali Amelia menoleh padanya dengan pandangan takut. Namun lelaki tersebut hanya tersenyum.
Sesampainya di rumah, Amelia kembali lemas, badannya panas namun seakan ia kedinginan dengan bibir yang bergetar. "Bu, bagaimana ini? Mengapa kembali kambuh seperti ini? Bahkan lebih parah, kita harus ke mana? Ke rumah sakit atau ke padepokan?"
"Nak, kamu kenapa, Sayang," istriku teramat cemas, ia mendekap tubuh anak semata wayang kami, "rumah sakit saja, Pak, ayo cepat. Kita panggil taxi saja biar cepat."
"Sa-sakit," ucapan lirih Amelia bersuara.
"Iya, Nak, sabar, Bapak sama ibu segera ke rumah sakit."
"Sa-kit, Bu, maafkan, Amel," kembali Amelia menangis namun ia tak banyak berbicara lagi.
Sesampainya di rumah sakit, segera beberapa perawat tanggap menyediakan tempat tidur dorong yang diarahkan padaku. Mata Amelia terpejam, genggaman tangannya juga tak sekuat saat di taxi. Namun badannya masih hangat, tapi jemari kakinya sangat pucat dan dingin. Kami tak ingin terjadi apa-apa padanya.
Seorang perawat mencari nadinya, tak berhasil di pergelangan tangan kanan, ia berganti di pergelangan tangan kiri. Terakhir nadi lehernya. Wajah perawat tersebut seakan tak bersahabat, matanya beradu dengan kerabat seprofesi. Perawat berbeda membawa sebuah alat kecil seperti cermin, didekatkan pada hidung pasiennya.
"Bu, Pak, maaf atas berita yang ingin saya sampaikan. Sebenarnya anak, Ibu dan Bapak telah meninggal dunia."
"Tidakkk ..., suster gak salah kan?" tangis histeris istriku memekak hening, hingga beberapa mata menuju pada kami.