Anda mungkin tidak asing dengan Angry Bird. Karakter yang berawal dari aplikasi permainan yang dibuat oleh Rovio akhirnya diangkat ke layar lebar. Tak tanggung-tanggung sudah dua film yang mengangkat tema Angry Birds: The Angry Birds Movie (2016) dan The Angry Birds Movie 2 (2019). Sosok Red menjadi tokoh utama di film pertama yang pertamakali ditayangkan pada 2016 ini. Di film The Angry Birds Movie, Red merupakan burung berwarna merah, beralis hitam dan memiliki kepribadian yang terkesan negatif oleh masyarakat di tempat tinggalnya. Bahkan sejak kecil sebagian dari mereka merundung dia dengan memberi julukan 'Eyebrow'. Red pun dikenal sebagai sosok yang pemarah dan berkelakukan buruk di masyarakat. Ia pada akhirnya dikucilkan dan diperlakukan bak sampah Bahkan saat Red menyampaikan kecurigaannya terhadap kedatangan sekelompok babi ke pulau, mereka tidak mengindahkannya. Mereka menyangkal semua yang diutarakan Red dan menganggap bahwa pernyataannya sebagai angin lalu.
Namun keadaan berbalik ketika gerombolan babi tersebut berhasil mencuri semua telur dari pulau mereka. Babi yang pada awalnya terlihat baik dengan menunjukkan bagaimana cara bersenang-senang akhirnya diketahui memiliki rencana busuk untuk menjadikan telur-telur tersebut sebagai santapan mereka. Masyarakat pun baru mempercayai Red dan memintanya untuk mengambil keputusan. Red yang memang pada dasarnya berhati baik kemudian mengutarakan pendapatnya untuk mengambil kembali telur-telur yang telah dicuri.
Dengan instruksi Red, merekapun bergotongroyong membuat sebuah perahu yang bisa membawa mereka ke pulau Piggy; tempat pencuri telur tersebut. Bukan pekerjaan yang mudah untuk merebut kembali telur yang merupakan hak mereka. Apalagi dengan kondisi bahwa mereka adalah kelompok burung yang tidak bisa terbang. Namun itu tidak menyurutkan langkah mereka. Satu persatu dari burung tersebut secara bergantian dilempar memakai ketapel raksasa untuk masuk ke kastil tempat telur itu disimpan. Perjuangan gigih mereka akhirnya membuahkan hasil. Semua telur kembali bisa mereka dapatkan. Dan Red yang menjadi pemimpin mereka dielu-elukan dan dianggap sebagai pahlawan.
Korban Perundungan di Dunia Nyata
Red mungkin tokoh fiktif yang berasal dari sebuah film. Namun bukan berarti sosok Red tidak ada di masyarakat nyata. Banyak korban-korban perundungan yang akhirnya bangkit, membangun kepercayaan diri dan berhasil membuktikan bahwa mereka bisa menjadi sosok sukses. Di Indonesia sendiri, siapa yang tidak kenal dengan sosok Cinta Laura, Iqbaal Ramadhan atau Nadiem Makarim? Mereka adalah korban-korban perundungan yang membuktikan bahwa mereka bisa berkontribusi positif.
Cinta sudah menjadi target perundungan sejak ia memulai kariernya sekitar tiga belas tahun yang lalu. Hal ini ia sampaikan di kanal Youtube Asian Boss bulan Oktober 2020 lalu.
Iqbaal dan Nadiem pun membagikan pengalaman mereka dirundung ketika mereka bersekolah karena bentuk tubuh mereka. Kisah mereka tersebut diungkapkan dalam dialog pendidikan yang dilakukan secara live di akun Instagram Nadiem (https://www.instagram.com/tv/CIpXiuzBXm4/). Cinta, Iqbaal dan Nadiem menunjukkan bahwa perundungan tidak menyebabkan kehidupan mereka terpuruk. Namun sebaliknya, komentar negatif yang mereka dapatkan dijadikan sebagai motivasi. Mereka terpacu untuk membuktikan bahwa mereka bisa berhasil.
Akan tetapi, tidak semua korban perundungan akan tumbuh menjadi sosok yang percaya diri seperti Cinta, Iqbaal dan Nadiem. Banyak kisah di masyarakat yang mengindikasikan bahwa perundungan bisa berpengaruh pada kepribadian seseorang. Tidak sedikit yang menjadi minder dan kehilangan kepercayaan diri dikarenakan rundungan-rundungan yang mereka terima. Bahkan banyak kasus bunuh diri yang dipicu dari perundungan.
Perundungan tidak boleh dibiarkan
Banyaknya korban perundungan yang menjadi orang berhasil di masa depannya, tidak menjadikan dalil bahwa perundungan itu sesuatu yang wajar. Perundungan bisa mengakibatkan korbannya berperilaku buruk ketika mereka dewasa. Penelitian yang dilakukan oleh Doris Bender dan Friedrich Losel (2011) pada sejumlah laki-laki mensinyalir adanya hubungan antara perundungan dengan kejahatan. Bahkan hasil studi pada tahun 2017 yang dilakukan oleh beberapa ilmuwan di Queen's University, Ontario menunjukkan bahwa korban perundungan memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri (Sumber).
Di Indonesia, berbagai studi sudah dilakukan untuk mempelajari kasus perundungan yang terjadi di masyarakat. OECD sendiri pada tahun 2018 pernah menunjukkan bahwa sebanyak 41,1% anak di Indonesia pernah menjadi sasaran perundungan. Sebuah survey juga pernah dilakukan oleh Ihsana Sabriani Borualogo dan Erlang Gumilang dari Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung (2019). Hasil kuesioner yang mereka ambil dari 22.616 anak dari 27 kota di Jawa Barat menyimpulkan bahwa sebagian besar responden mengaku menjadi korban perundungan secara fisik, verbal maupun psikologis oleh saudara kandung atau temannya di sekolah.
Sudah saatnya perundungan dihentikan dan tidak dianggap sebuah kewajaran di tengah-tengah masyarakat terutama di lingkungan sekolah. Tempat dimana anak-anak meluangkan banyak waktunya di sana sudah selayaknya menjadi lingkungan yang dipenuhi energi positif dan terbebas dari perundungan. Sehingga anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang senantiasa percaya diri dan bisa berkontribusi positif. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H