Mohon tunggu...
Maya A. Pujiati
Maya A. Pujiati Mohon Tunggu... Penulis -

Penulis yang masih perlu terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perpustakaan Desa: Sumber Cahaya Peradaban Bangsa

21 September 2017   11:25 Diperbarui: 21 September 2017   11:59 1054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak sedang asyik membaca di Rumah Baca Taman Lestari (sumber foto: dokumentasi penulis)

Sebagian dari dana desa akan dialokasikan untuk perpustakaan? Rasanya senang sekali membaca berita itu. Sebelumnya saya pernah menulis tentang ide alokasi dana desa untuk perpustakaan di sini. Dan saya yakin, banyak penggiat literasi juga menggaungkan ide yang sama. Alhamdulillah, Presiden Jokowi, yang saya kenal cukup responsif dalam mendengar masukan dan gagasan, mulai mempertimbangkannya menjadi program resmi pemerintah.

Makna Perpustakaan  dan Membaca

Di kampung, buku bacaan adalah barang langka. Sekalipun seorang anak sudah bisa membaca, ia tak punya banyak bahan untuk dibaca. Oleh karena itulah, perpustakaan SD Inpres menjadi sahabat terbaik saya sewaktu kecil. Buku-bukunya memang tidak berwarna-warni seperti sekarang, namun  semua itu tetap menyumbangkan kegembiraan dan wawasan bagi saya, anak kampung. 

Kehausan akan pengetahuan membuat saya dapat bertahan di ruangan sempit perpustakaan. Tata letak buku yang sebagiannya tak karuan, tak menyurutkan hasrat saya untuk datang dan datang lagi, meminjam. Saat teman-teman bermain galah asin di bawah pohon kecapi, saya sibuk memilih buku.

Buku cerita di masa itu masih sederhana. Kavernya dua atau tiga warna dan ilustrasinya pun hanya hitam dan putih. Namun jangan dikira buku semacam itu hanya benda biasa. Semua itu telah banyak memengaruhi kemampuan saya dalam berbahasa dan berani memiliki cita-cita. Beragam kisah inspiratif  telah memberi makan harapan di benak saya untuk bisa hidup lebih baik.  

Karena sering membaca, saya jadi menyukai pelajaran bahasa Indonesia melebihi pelajaran lainnya. Pengetahuan tentang bahasa telah mempermudah saya untuk menyampaikan bermacam pikiran dan keresahan dengan cara yang lebih beradab. Saya merasakan hikmahnya hingga hari ini. Oleh karena itu bisa saya katakan, perpustakaan adalah  sumber peradaban, terlebih di tempat yang sebagian besar orang tak mampu membeli buku bacaan.

Menebar Benih Kemajuan Bangsa

Peduli terhadap buku adalah keniscayaan jika sebuah negara ingin membangun generasi yang maju dan beradab. Bersyukur, pemerintah saat ini semakin serius mendukung  para penggiat literasi dalam menyebarkan buku-buku bermutu ke pelosok negeri, lewat program ongkir gratis setiap tanggal 17 melalui PT Pos Indonesia.

Satu buku bermutu yang dibaca oleh seorang anak, ibarat benih unggul yang ditebar di hamparan tanah. Sekalipun  hanya satu butir  yang dapat tumbuh, ia akan menjadi sumber makanan yang baik bagi jiwa anak. Semakin sering anak membaca, kombinasi  ide di dalam buku akan menumbuhkan kreativitas dan melambungkan imajinasi mereka. Menjauhlah pesimisme dan anarkisme, menjauhlah kegelapan dan kebodohan, selamat datang cahaya.

Saya ingat, suatu hari seorang anak berumur 10 tahun, anggota taman bacaan, tiba-tiba datang membawa kotak dagangan. Di dalamnya ada sejumlah roti goreng. Wajahnya sumringah. Sebuah tas  kecil melingkar di pinggangnya, siap mewadahi uang dari pembeli. 

Saat saya tanya, "Siapa yang bikin?" Ia menjawab, "Ibu. Aku kan baca buku, 'Roti Sehat Titi'. Kubilang sama ibu, aku juga mau kalau jualan roti."

Sejak saat itu ia terus berjualan setidaknya tiga kali dalam seminggu untuk menambah uang saku. Saya terkesan. Betapa hebatnya sebuah buku.

Pengelola Yang Cinta Membaca

Sebuah perpustakaan akan tetap hidup jika pengelolanya berdedikasi. Petugas perpustakaan idealnya juga berjiwa pionir dan senang membaca. Ia jangan hanya menempatkan dirinya sebagai petugas administrasi, namun betul-betul menghadirkan jiwanya untuk kemajuan literasi.

Jika membangun perpustakaan desa jadi  ditetapkan sebagai program resmi pemerintah, semoga segala hal yang berkaitan dengan teknis pengelolaannya juga berkualitas, pengelolanya berkualitas, dan buku-bukunya juga berkualitas.  Para penggerak literasi informal yang selama ini telah aktif menyalakan semangat membaca di berbagai pelosok, dapat menjadi pilihan terdepan dalam menggawangi dan mengawal program ini. Mengapa demikian? Karena mereka telah memiliki dedikasi yang teruji. Selama ini mereka telah menginisiasi secara mandiri penyebaran budaya literasi, dengan segala keterbatasannya, bahkan saat pemerintah belum hadir sepenuhnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun