Mohon tunggu...
Andri Mulyawan
Andri Mulyawan Mohon Tunggu... Staff Administrasi Proyek -

Mahasiswa Ilmu Sosial Bergerak di Ilmu Politik dan Gender. Penyuka Fotography, Nulis Opini, Tiduran dan Makan, Kritis namun Membangun, dan Tukang Julid.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengartikan Ulang Pemberdayaan Perempuan

8 Maret 2019   14:42 Diperbarui: 8 Maret 2019   15:02 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Selamat International Women Days! 

Sedikit tergelitik menonton ulang debat calon presiden edisi pertama antara Pak Prabowo Subianto dan pertahana Presiden Joko Widodo tentang peran perempuan di dalam jabatan strategis. Baik di dalam kementerian yang dibawahi oleh Presiden Joko Widodo, maupun mempertanyakan tentang jabatan strategis di sistem kepartaian yang diketuai oleh Pak Prabowo Subianto. Dari debat kemarin yang saya lihat, kedua pasangan calon presiden itu hanya mempermasalahkan kuantitas perempuan dalam jabatan strategis. Bahkan, salah satu pasangan calon membanggakan keterlibatan perempuan lebih banyak di jabatan strategisnya.

Lalu yang menjadi pertanyaanya adalah, apakah keterlibatan perempuan di dalam jabatan strategis disebut sebagai Pemberdayaan Perempuan? lalu, bisakah perempuan meraih political power tanpa mengikuti dan menduplikasi pria dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah? Dan bisakah perempuan dengan duduk di jabatan strategis membentuk kembali kekuatan politik untuk menangani masalah perempuan?

Perempuan masuk ke ranah politik merupakan cita-cita para penggiat keseteraan gender di manapun berada. Keberadaan perempuan dalam politik menurut Feminis Liberal sebagai langkah-langkah pencapaian yang diharapkan dari perjuangan mereka dalam mencapai kesetaraan gender dengan tahapan-tahapan perjuangan diantaranya keseteraan terhadap hak hidup, kesetaraan terhadap pendidikan dan hak untuk mempunyai pendidikan, mempunyai hak pilih dan terjun kedalam politik dengan harapan tetap konsen dalam menangani permasalahan perempuan. (Thong, 2014).

Feminis Liberal juga menyebutkan bahwa perempuan dianggap paling mengalami hal-hal diskriminatif berbasis jenis kelamin dalam pekerjaan ataupun status sosial. Catherine MacKinnon menyebutkan bahwa, ada salah satu hal yang tidak bisa diselesaikan atau diberi alternatif yaitu posisi perempuan yang masih dianggap posisi inferior dan sulit setara dengan pria. (MacKinnon, 1987). Terjunnya perempuan dalam politik seharusnya menjadi harapan bagi semua perempuan di seluruh dunia untuk bisa menangani permasalahan perempuan yang bersifat struktural. Keterlibatan perempuan dalam politik dianggap sebagai Pemberdayaan Perempuan. 

Lalu sebelum kita mengetahui lebih jelas sebenarnya apa itu Pemberdayaan Perempuan, kita harus mengkhususkan tulisan ini ke dalam power dalam politik yang ingin diraih oleh perempuan guna menyelesaikan masalah-masalah perempuan di masyarakat dan memperjuangkan hak-hak perempuan di dalam berbangsa dan bernegara. Power adalah kapasitas untuk mendapatkan sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun pada praktiknya dalam masyarakat, perempuan hanya dapat menggunakan power di lingkungan rumah tangga dan menyebarkan pengaruh mereka di dalam lingkup keluarga mereka masing-masing.

Sebaliknya kekuatan laki-laki lebih terkoordinasi dan terstruktur di dalam jabatan yang lebih tinggi dan strategis dengan kekuatan yang lebih luas dibanding dengan perempuan. (Ridd and Callaway, 1987 : 3). Artinya, Pemberdayaan Perempuan atau pemberdayaan perempuan terutama dalam politik memungkinkan perempuan untuk bisa mengendalikan hidup mereka sendiri, mengatur agenda mereka sendiri, mengatur untuk saling membantu dan menuntut negara untuk dukungan dalam penyelesaian masalah diskriminasi terhadap perempuan, serta fokus terhadap hak-hak perempuan agar bisa terpenuhi di masyarakat (Young, 1993).

Naiknya perempuan pada tampuk kekuasaan politik tertinggi atau didalam jabatan strategis merupakan salah satu bagian daripada Pemberdayaan Perempuan. Marilee Karl menyebutkan bahwa, Kata pemberdayaan bisa diartikan untuk mendapatkan kendali, partisipasi ataupun memiliki kekuatan dalam pengambilan keputusan (Karl, 1995).  Vannesa Griffen menjelaskan juga melalui lensa gender sebagaimana dia mengartikan pemberdayaan adalah memiliki atau mendapatkan kontrol lebih lanjut, memiliki suara yang didengarkan, mampu mendefinisikan dan menciptakan dari perspektif perempuan, mampu memengaruhi pilihan dan keputusan sosial yang mengubah pandangan seluruh masyarakat tanpa terkecuali dan diakui serta dihormati sebagai warga negara dan manusia yang setara dalam mengutarakan kontribusi terhadap masyarakat (Griffen, 1989)

Lalu pertanyaan selanjutnya seperti apa yang diuraikan diatas tentang pemberdayaan perempuan, apakah dengan menempatkan perempuan di posisi strategis dalam jabatan pemerintahan sudah cukup untuk menggambarkan bagaimana pemberdayaan perempuan itu terwujud. Ataukah harus dengan cara-cara yang biasa perempuan lakukan satu paket dengan jenis kelaminnya.

Sebelum menguraikan pertanyaan di atas, kita perlu tahu dulu bagaimana seharusnya membedakan jenis kelamin dan gender agar bisa terlihat sisi perbedaan yang jelas antara mana gender dan mana jenis kelamin.

Jenis kelamin menurut J.Ann Tickner adalah sesuatu berbentuk fisik yang terlihat secara jelas, baik itu bentuk tubuh, suara, serta cara berpakaian, yang bisa terlihat dan diterima secara kodrati. Sementara gender adalah karakter, cara berpikir, perspektif dan hal yang tidak terlihat atau yang disebut sebagai femininitas dan maskulinitas (Tickner, 1992). Memisahkan antara pengertian gender dan jenis kelamin akan berguna ketika kita menganalisa perilaku serta kepemipinan seseorang baik pria maupun wanita, atau membedakan cara-cara yang ditempuh oleh feminin maupun maskulin dalam menyelesaikan masalah.

Menurut Laura S Bjorg dan Eric M Blanchard terutama dalam penyelesaian masalah, feminin selalu menyelesaikan masalah sangat detail sampai menyelesaikan masalah  ke sudut -- sudut terkecil. Laura juga menyebutkan bahwa feminin lebih menyukai menyelesaikan masalah dimulai dari individu itu sendiri hingga ke level negara atau istilah lainnya bottom-up bahkan bisa masuk kedalam sudut terkecil masyarakat. Sementara maskulin lebih menyelesaikan masalah hanya pada garis besarnya saja atau secara general langsung tanpa pertimbangan yang lama dan lebih tertarik menyelesaikan masalah negara secara global dibanding individu secara khusus atau dalam istilah lain top-down (Blanchard, 2003 ; Laura 2011).

Misalnya, kita bisa melihat contoh di Indonesia di kabinet kementerian Presiden Joko Widodo. Kita bisa menganalisa  perilaku penyelesaian masalah antara dua menteri wanita kita, Ibu Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri RI dengan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Ibu Susi Pujiastuti. Mereka adalah dua perbandingan dimana maskulinitas dan femininitas dalam satu tubuh yang sama yaitu perempuan.

Contohnya adalah perilaku Menteri Kelautan dan Perikanan RI dalam menyelesaikan permasalahan illegal fishing lebih memilih untuk menghancurkan kapal-kapal dan menenggelamkannya, sementara cara diplomasi yang ditempuh oleh Ibu Retno Marsudi dalam paham nya "investing in women equals, investing a peace" dan menganggap perempuan sebagai agen perdamaian, toleransi dan kesejahteraan menunjukan cara feminin yang ditempuh. Selain tentang jabatan menteri, ada contoh kuat dimana power yang sangat maskulin juga terjadi pada tampuk pemerintahan dibawah kepemimpinan perempuan, kita tidak bisa melupakan bagaimana kekuatan yang besar yang dimiliki oleh Ratu Atut Chosiyah dengan politik dinastinya di Banten, ada political power yang kuat namun cenderung sangat maskulin di Banten dibawah kepemimpinan Ratu Atut Chosiyah.

Selanjutnya yang menjadi masalah adalah, relevankah pengertian Pemberdayaan Perempuan dalam mengartikan posisi perempuan sebagai setara dengan laki-laki terutama dalam political power? sementara pada praktiknya, beberapa bahkan sebagian besar masyarakat terutama di Indonesia menganggap bahwa perempuan dengan perilaku maskulin adalah contoh pencapaian terbaik Pemberdayaan Perempuan?

Jika melihat pengertian dari beberapa ahli di atas tentang pemberdayaan perempuan. Seharusnya jika berdasarkan teori yang diutarakan diatas, femininitas harus dibawa satu paket dengan jenis kelaminnya. Pernyataan ini juga dipertegas oleh Vannessa Grifin tentang pemberdayaan adalah "mampu mendefinisikan dan menciptakan dari perspektif perempuan" artinya secara ideal, perempuan dikatakan berdaya dan memiliki political power ketika dia mampu untuk membawa sisi femininitas dalam dirinya ditampuk kekuasaanya.

Jika secara ideal dianggap seperti itu, pandangan masyarakat terhadap Pemberdayaan Perempuan yang menganggap bahwa dengan berperilaku sangat maskulin adalah pencapaian terbaik pemberdayaan perempuan rasanya masih kurang relevan. Menurut hemat saya, pemberdayaan perempuan bahkan masih seperti sebuah kupu kupu yang masih belum sempurna keluar dari kepompongnya. Seyogyanya berdasarkan ideal teori yang diuraikan diatas bahwa Pemberdayaan Perempuan atau pemberdayaan perempuan harus menempatkan posisi perempuan dengan feminintasnya, bukan mimikri menjadi seorang maskulin berwujud wanita.

Apakah pemberdayaan perempuan sesuai dengan teori yang diuraikan diatas bisa diterapkan di Indonesia dan mengubah pandangan dari anggapan mimikri maskulin dalam tubuh wanita sebagai pencapaian sempurna?  Rasanya akan sangat sulit karena menimbang negara kita adalah negara partiarki dengan anggapan "maskulin masih diatas feminin" baik secara langsung maupun tersirat. Walaupun kesetaraan gender adalah platform yang sedang diperjuangkan oleh sebagian kecil masyarakat terutama perempuan di negeri ini, dominasi maskulin masih sangat terasa bahkan dalam mengartikan Pemberdayaan Perempuan itu sendiri.

Misalnya dalam acara debat capres kemarin terutama tentang gender dan memposisikan wanita dalam posisi strategis. Pak Presiden Joko Widodo mempermasalahkan tentang kuantitas perempuan yang ada di posisi strategis dalam suatu organisasi terutama di organisasi kepartaian yang dipimpin oleh Pak Prabowo dan memperbandingkan kuantitas menteri perempuan di kementeriannya. Sementara Pak Prabowo mempermasalahkan kualitas perempuan yang harus bisa membela rakyatnya walaupun kuantitasnya sedikit. Namun menurut hemat saya, masih kurang tepat sasaran terhadap pengertian pemberdayaan perempuan terutama tentang penempatan perempuan dalam posisi strategis.

Sayangnya kedua paslon presiden ini tidak bisa menelisik secara jelas bagaimana seharusnya pemberdayaan perempuan itu diwujudkan. Pemberdayaan perempuan adalah bukan soal tentang kuantitas, bukan juga soal tentang berperilaku maskulin, tetapi lebih ke apakah perempuan itu bisa menyuarakan dan mempengaruhi perempuan lainnya untuk menyeruakan hak-hak sesama perempuan, menjelaskan  tanpa harus meninggalkan perspektif feminitas sepenuhnya.

Ada solusi yang ditawarkan menurut opini saya yang lebih cocok karena mencapai pemberdayaan perempuan secara teoritis itu sangat sulit diterapkan di negara partiarki, namun menerapkan pemberdayaan dengan mengadopsi cara-cara maskulin juga dianggap tidak relevan. Ada istilah baru yang lebih relevan dan cocok diterapkan yaitu gender harmony atau harmonisasi gender dimana perempuan dapat menggunakan sifat femininitas dan maskulinitas dalam menjalankan tugas di jabatan strategisnya dengan seimbang dan terutama menentukan kapan harus menyelesaikan secara feminin dan kapan harus menyelesaikan masalah secara maskulin dalam menyelesaikan masalah.

Kesetaraan gender jika digambarkan dalam sebuah aktifitas adalah seperti memasak, ketika masakan terasa terlalu asin pasti ditambahkan gula guna seimbang begitupun sebaliknya. Harmonisasi gender ini dianggap sangat relevan terutama guna mengurangi konflik gender, yaitu blaming antara perempuan melawan laki-laki dan laki-laki melawan perempuan untuk itu, solusi ini dianggap sangat cocok guna mencapai kesetaraan gender dalam politik di Indonesia.

Referensi :

Bjorg, S. Laura. "Women,Gender and Terrorism", Georgia : University of Georgia Press, 2011

Eric M. Blanchard. "Gender, International Relations, and the Development Security Theory", dalam Journal of Women in Culture and Society, 28, no.41, 2003

Griffen, Vanessa. (ed) Women, development and empowerment: A pacific feminist Perspectives. Kuala Lumpur; Asia and Pacific Development Center. 1989

MacKinnon, Catherine A. Feminism Unmodified : Discourse on Life and Law. Cambridge, MA : Harvard University Press, 1987.

Rosemarie, Putnam Thong. Feminist Thought : Fourth Edition. Westview Press, 2014

Ridd, Rosemary and Hellen Callaway. Women and Political Conflict. New York : New York University Press, 1987.

Tickner, J. Ann. "Gendering World Politic", New York: Columbia University Book, 1992

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun