Menurut Laura S Bjorg dan Eric M Blanchard terutama dalam penyelesaian masalah, feminin selalu menyelesaikan masalah sangat detail sampai menyelesaikan masalah  ke sudut -- sudut terkecil. Laura juga menyebutkan bahwa feminin lebih menyukai menyelesaikan masalah dimulai dari individu itu sendiri hingga ke level negara atau istilah lainnya bottom-up bahkan bisa masuk kedalam sudut terkecil masyarakat. Sementara maskulin lebih menyelesaikan masalah hanya pada garis besarnya saja atau secara general langsung tanpa pertimbangan yang lama dan lebih tertarik menyelesaikan masalah negara secara global dibanding individu secara khusus atau dalam istilah lain top-down (Blanchard, 2003 ; Laura 2011).
Misalnya, kita bisa melihat contoh di Indonesia di kabinet kementerian Presiden Joko Widodo. Kita bisa menganalisa  perilaku penyelesaian masalah antara dua menteri wanita kita, Ibu Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri RI dengan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Ibu Susi Pujiastuti. Mereka adalah dua perbandingan dimana maskulinitas dan femininitas dalam satu tubuh yang sama yaitu perempuan.
Contohnya adalah perilaku Menteri Kelautan dan Perikanan RI dalam menyelesaikan permasalahan illegal fishing lebih memilih untuk menghancurkan kapal-kapal dan menenggelamkannya, sementara cara diplomasi yang ditempuh oleh Ibu Retno Marsudi dalam paham nya "investing in women equals, investing a peace" dan menganggap perempuan sebagai agen perdamaian, toleransi dan kesejahteraan menunjukan cara feminin yang ditempuh. Selain tentang jabatan menteri, ada contoh kuat dimana power yang sangat maskulin juga terjadi pada tampuk pemerintahan dibawah kepemimpinan perempuan, kita tidak bisa melupakan bagaimana kekuatan yang besar yang dimiliki oleh Ratu Atut Chosiyah dengan politik dinastinya di Banten, ada political power yang kuat namun cenderung sangat maskulin di Banten dibawah kepemimpinan Ratu Atut Chosiyah.
Selanjutnya yang menjadi masalah adalah, relevankah pengertian Pemberdayaan Perempuan dalam mengartikan posisi perempuan sebagai setara dengan laki-laki terutama dalam political power? sementara pada praktiknya, beberapa bahkan sebagian besar masyarakat terutama di Indonesia menganggap bahwa perempuan dengan perilaku maskulin adalah contoh pencapaian terbaik Pemberdayaan Perempuan?
Jika melihat pengertian dari beberapa ahli di atas tentang pemberdayaan perempuan. Seharusnya jika berdasarkan teori yang diutarakan diatas, femininitas harus dibawa satu paket dengan jenis kelaminnya. Pernyataan ini juga dipertegas oleh Vannessa Grifin tentang pemberdayaan adalah "mampu mendefinisikan dan menciptakan dari perspektif perempuan" artinya secara ideal, perempuan dikatakan berdaya dan memiliki political power ketika dia mampu untuk membawa sisi femininitas dalam dirinya ditampuk kekuasaanya.
Jika secara ideal dianggap seperti itu, pandangan masyarakat terhadap Pemberdayaan Perempuan yang menganggap bahwa dengan berperilaku sangat maskulin adalah pencapaian terbaik pemberdayaan perempuan rasanya masih kurang relevan. Menurut hemat saya, pemberdayaan perempuan bahkan masih seperti sebuah kupu kupu yang masih belum sempurna keluar dari kepompongnya. Seyogyanya berdasarkan ideal teori yang diuraikan diatas bahwa Pemberdayaan Perempuan atau pemberdayaan perempuan harus menempatkan posisi perempuan dengan feminintasnya, bukan mimikri menjadi seorang maskulin berwujud wanita.
Apakah pemberdayaan perempuan sesuai dengan teori yang diuraikan diatas bisa diterapkan di Indonesia dan mengubah pandangan dari anggapan mimikri maskulin dalam tubuh wanita sebagai pencapaian sempurna?  Rasanya akan sangat sulit karena menimbang negara kita adalah negara partiarki dengan anggapan "maskulin masih diatas feminin" baik secara langsung maupun tersirat. Walaupun kesetaraan gender adalah platform yang sedang diperjuangkan oleh sebagian kecil masyarakat terutama perempuan di negeri ini, dominasi maskulin masih sangat terasa bahkan dalam mengartikan Pemberdayaan Perempuan itu sendiri.
Misalnya dalam acara debat capres kemarin terutama tentang gender dan memposisikan wanita dalam posisi strategis. Pak Presiden Joko Widodo mempermasalahkan tentang kuantitas perempuan yang ada di posisi strategis dalam suatu organisasi terutama di organisasi kepartaian yang dipimpin oleh Pak Prabowo dan memperbandingkan kuantitas menteri perempuan di kementeriannya. Sementara Pak Prabowo mempermasalahkan kualitas perempuan yang harus bisa membela rakyatnya walaupun kuantitasnya sedikit. Namun menurut hemat saya, masih kurang tepat sasaran terhadap pengertian pemberdayaan perempuan terutama tentang penempatan perempuan dalam posisi strategis.
Sayangnya kedua paslon presiden ini tidak bisa menelisik secara jelas bagaimana seharusnya pemberdayaan perempuan itu diwujudkan. Pemberdayaan perempuan adalah bukan soal tentang kuantitas, bukan juga soal tentang berperilaku maskulin, tetapi lebih ke apakah perempuan itu bisa menyuarakan dan mempengaruhi perempuan lainnya untuk menyeruakan hak-hak sesama perempuan, menjelaskan  tanpa harus meninggalkan perspektif feminitas sepenuhnya.
Ada solusi yang ditawarkan menurut opini saya yang lebih cocok karena mencapai pemberdayaan perempuan secara teoritis itu sangat sulit diterapkan di negara partiarki, namun menerapkan pemberdayaan dengan mengadopsi cara-cara maskulin juga dianggap tidak relevan. Ada istilah baru yang lebih relevan dan cocok diterapkan yaitu gender harmony atau harmonisasi gender dimana perempuan dapat menggunakan sifat femininitas dan maskulinitas dalam menjalankan tugas di jabatan strategisnya dengan seimbang dan terutama menentukan kapan harus menyelesaikan secara feminin dan kapan harus menyelesaikan masalah secara maskulin dalam menyelesaikan masalah.
Kesetaraan gender jika digambarkan dalam sebuah aktifitas adalah seperti memasak, ketika masakan terasa terlalu asin pasti ditambahkan gula guna seimbang begitupun sebaliknya. Harmonisasi gender ini dianggap sangat relevan terutama guna mengurangi konflik gender, yaitu blaming antara perempuan melawan laki-laki dan laki-laki melawan perempuan untuk itu, solusi ini dianggap sangat cocok guna mencapai kesetaraan gender dalam politik di Indonesia.