Mohon tunggu...
MEX MALAOF
MEX MALAOF Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Terus Bertumbuh dan Berbuah Bagi Banyak Orang

Tuhan Turut Bekerja Dalam Segala Sesuatunya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KLB Demokrat Tetap Berlangsung di Sumut, Bentuk Perlawanan terhadap Cikeas?

5 Maret 2021   20:54 Diperbarui: 5 Maret 2021   21:13 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kongres Luas Biasa Partai Demokrat yang didengung-dengungkan oleh beberapa mantan kader partai dan anggota partai lain yang masih aktif, akhirnya terselenggara di Medan Sumatera Utara, tepatnya di hotel The Hill Sibolangit, Jumat, 05 Maret 2021. 

Kongres yang sempat diwarnai dengan aksi penolakan oleh kader partai yang masih loyal kepada AHY itu, akhirnya menetapkan Jenderal (Purn) Moeldoko sebagai Ketua Umum. 

"Memutuskan, menetapkan Jenderal (Purn) Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat", kata Jhony Allen Marbun yang bertindak sebagai pemimpin sidang Kongres Luar Biasa. 

Dalam kesempatan tersebut juga, Marzuki Ali diangkat menjadi Ketua Dewan Pembina Partai. Dengan demikian, nama Marzuki yang sempat tercemar karena telah dipecat beberapa waktu lalu bersama enam orang kader lainnya, dipulihkan kembali. Menurut HM. 

Darmizal, kurang lebih ada 1.200 orang yang berasal dari Dewan Pimpinan Cabang dan Dewan Pimpinan Daerah yang hadir dalam kongres tersebut. Terlepas dari sah atau tidaknya KLB itu karena tidak mendapat restu dari Majelis Tinggi Partai (MTP) yang diketuai oleh SBY akan tetapi, apa yang sudah berlangsung dan terjadi di sana mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang kurang beres dalam tubuh partai berlambang Mercy itu.

Sesuai dengan beberapa informasi yang beredar, KLB yang berlangsung di Medan Sumatera Utara itu, merupakan buntut dari adanya tuntutan beberapa mantan kader seperti, Max Sopacua, Jhoni Allen Marbun, HM Darmizal, dan sejumlah anggota kader partai yang masih akftif yang ingin agar Demokrat kembali berjaya pada Pilpres yang akan datang dan mengembalikan Demokrat ke marwah yang sesungguhnya sesuai dengan cita-cita para pendiri partai. 

Untuk mencapai tujuan itu maka, Demokrat harus dipimpin oleh figur yang memiliki kapasitas dalam memimpin partai dan punya nilai jual pada pesta demokrasi tersebut. Mereka yang memberontak hingga berujung pada isu kudeta, aksi pemecatan, dan nekat mengadakan KLB, melihat bahwa AHY tidak memiliki dan memenuhi tuntutan-tuntutan itu. 

Pada sisi lain, kubu Cikeas bersih keras mempertahankan AHY dan dijadikan fibur yang turut bersaing dalam Pilpres 2024. Padahal, beberapa hasil survei di tanah air menunjukkan bahwa pamor AHY masih kalah dengan beberapa sosok tenar lain seperti, Prabowo, Anies, Sandiaga, ibu Risma, Kang Emil, dan Ganjar Pranowo akan tetapi, keadaan itu tidak menjadi bahan pertimbangan dalam tubuh partai untuk melakukan komunikasi guna mencari figur yang lebih tepat. AHY tetap menjadi pilihan utama. 

Harus diakui bahwa langkah seorang AHY dalam menyelesaikan persoalan partai yang bermula dari isu adanya kudeta, mencerminkan bahwa ia memang belum mampu tampil sebagai pemimpin. Dengan menyurati presiden Joko Widodo saja pada awal kekisruhan, AHY sebenarnya telah melakukan suatu kekeliruan. 

Menyurati Jokowi Widodo dalam kapasitasnya sebagai seorang presiden menunjukkan bahwa AHY menempatkan Demokrat di bawah Jokowi. Padahal Jokowi bukanlah seorang politisi. Isu kudeta merupakan masalah internal partai. Jadi harus diselesaikan secara internal juga bukan dibawa keluar agar diketahui oleh semua orang. Mengemboskan persoalan intern partai kepada pihak lain merupakan sesuatu yang kurang tepat. Sama halnya dengan menelanjangi diri sendiri. 

Aksi pecat yang dipertontonkan oleh AHY pada beberapa waktu lalu juga menunjukkan bahwa AHY tidak mampu mengakomodasi dan mengkomunikasikan masalah dalam partai dengan bijak. 

Seharusnya, ketika mendengar isu adanya kudeta, apalagi itu dilakukan oleh mereka-mereka yang terlibat dalam pendirian partai, sudah senior, matang dalam dunia politik, dan memiliki pengalaman memimpin, seorang AHY seharusnya bertanya diri dan bertanya kepada mereka-mereka yang melakukan itu, kenapa kok bisa main belakang? Apakah ada sesuatu yang salah? Dengan mendapatkan jawaban atas persoalan itu maka, cari solusinya bukan main pecat saja. Main pecat menampakkan bahwa AHY otoriter. 

Dibawah kepemimpinan AHY, beberapa pihak yang sudah dipecat mengatakan bahwa AHY tidak egaliter serta membelenggu hak dan fungsi anggota partai dan pergerakkan organisasi sayap yang berfungsi sebagai kaderisasi, dibatasi. 

Oleh karena itu, kalau sampai para mantan kader yang dipecat dan mereka yang berteriak menuntut adanya perubahan dalam tubuh partai tidak didengarkan hingga berani melangsungkan KLB, itu berarti mereka ingin melawan kubu Cikeas yang tetap ngotot mempertahankan AHY, yang bagi mereka sudah terbaca bahwa ia tidak memiliki kemampuan yang mumpuni untuk memimpin. 

Bahkan ada bocoran dari pihak tertentu yang mengatakan bahwa untuk menjadi ketua umum saja, itu dilakukan dengan terpaksa pada kongres yang berlangsung pada Maret 2020 itu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun