Mohon tunggu...
MEX MALAOF
MEX MALAOF Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Terus Bertumbuh dan Berbuah Bagi Banyak Orang

Tuhan Turut Bekerja Dalam Segala Sesuatunya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sebelum Menikah, Siapkan Diri untuk Menerima dan Menjalani Empat Tantangan Ini

10 Februari 2021   21:11 Diperbarui: 23 Maret 2021   17:04 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pasangan suami istri. (sumber: PEXELS/ANDREA PIACQUADIAO via kompas.com)

Pernikahan boleh dikatakan sebagai suatu ikatan yang terjadi di antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dalam satu keluarga. 

Sebelum sepasang insan manusia sepakat atau berjanji untuk mengikat hati satu sama lain guna hidup bersama, perlu dipikirkan dengan jernih segala tantangan yang akan mengiringi berbagai usaha untuk sampai kepada kebahagiaan yang telah dijanjikan Allah dalam perkawinan itu. 

Berikut akan disebut dan diuraikan secara ringkas, empat tantangan nyata, yang tak terhindarkan setelah mengambil keputusan untuk menikah antara lain:

1. Berpeluh Keringat (Sebagai Suami) dan Sakit Bersalin (Sebagai Istri)

Tak dapat dipungkiri bahwa setelah menikah, seorang laki-laki akan memiliki fungsi, tugas, dan kedudukan sebagai kepala rumah tangga atau penanggung jawab utama dalam keberlangsungan hidup suatu keluarga. 

Karena itu, seorang laki-laki atau pria harus berpeluh keringat, bersusah payah, dan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. 

Maka, menikah bagi seorang laki-laki atau seorang pria, tidak hanya bermodalkan cinta belaka, tetapi bagaimana mempersiapkan seluruh diri untuk bekerja dengan mengolah tanah pertiwi terrcinta ini, demi menafkahi istri dan anak-anak.

Walaupun pada saat ini, terdapat istri-istri dalam keluarga tertentu yang turut bekerja membantu ekonomi keluarga akan tetapi, tugas utama untuk itu, tetaplah menjadi tanggung jawab seorang suami. 

Sebagai seorang suami, tak perlu gengsi untuk melakukan berbagai macam pekerjaan halal untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawab dalam keluarga. 

Melalui kerja keras seorang suami, akan terukur dan tertakar rasa tanggung jawab terhadap keluarga yang sudah dibangun. 

Maka, bagi seorang pria, sebelum memutuskan untuk menikah, alangkah baiknya, kalau memikirkan secara mantap dan matang soal suatu pekerjaan untuk mempertanggungjawabkan diri sebagai seorang suami di tengah-tengah keluarga yang akan dibangun. 

Pada pihak perempuan, setelah menikah, konsekwensi logis yang harus diterima sesuai kodra sebagai seorang isteri dan ibu bagi anak-anak adalah harus bersiap untuk sakit bersalin. 

Sakit bersalin tidak dapat dibagi apalagi dipercayakan kepada seorang suami atau orang lain. 

Walapun pada saat ini berkembang berbagai penemuan sarana medis untuk hal ini akan tetapi, itu akan berpengaruh pada banyak hal, terutama soal rasa afeksi yang akan terjadi di antara seorang ibu dan seorang anak. 

Seorang istri dan ibu yang bijak, akan mengesampingkan segala ego dan berbagai kepentingan sesaat lain untuk merasakan sakit bersalin, kecuali situasi menuntut untuk melakukan pilihan lain. Sebagai seorang calon ibu, bersiaplah untuk menerima keadaan ini. Itulah kodrad sejati dari seorang ibu.

2. Meninggalkan Orangtua

Sebuah keluarga baru, akan benar-benar dikatakan demikian, kalau selepas mngucapkan janji suci perkawinan untuk hidup bersama lalu pergi meninggalkan kedua orangtua untuk membina rumah tangga sendiri. 

Ini adalah konsekwensi yang tak dapat ditolak karena dengan memilih untuk menikah dengan siapapun berarti siap untuk membentuk dan menjalani keluarga sendiri. 

Terdapat banyak keluarga baru yang pada awalnya tidak siap untuk meninggalkan kedua orangtua dan hidup bersama dalam satu atap. Akibatnya adalah urusan keluarga anak dan keluarga orangtua bercampur baur dan kacau balau. 

Yang lebih menyedihkan adalah tak jarang keluarga anak harus dikorbankan akibat campur tangan orangtua yang terkadang tak adil, berat sebelah, dan memihak, dalam menanggapi persoalan yang terjadi dalam keluarga anak. 

Bahkan orangtua lebih sering menjadi kompor dan kuali yang hanya memanas-manasi situasi sehingga keluarga anak terpaksa bubar. 

Oleh karena itu, penting bagi calon-calon keluarga baru agar sebelum menikah dipersiapkan terlebih dahulu suatu hunian yang sederhana tapi nyaman dalam bentuk apapun, entah rumah sendiri, kontrak atau kos sekalipun, sebagai bekal awal untuk membina rumah tangga. 

Tidak mampu meninggalkan orangtua berarti bersiaplah untuk menerima kenyataan pahit. 

3. Tak Berpisah Sampai Maut Menjemput

Pada dasarnya, ajaran agama atau instansi manapun selalu menekan dan memegang teguh prinsip, perkawinan itu satu dan tak terceraikan sampai maut memisahkan. 

Ini berarti bahwa dalam situasi apapun, suka-duka, untung-malang, pahit-manis, sehat-sakit, dan beragam situasi lain yang akan dialami, pasangan yang telah mengikrarkan diri lewat janji suci untuk hidup bersama dalam satu keluarga, tak terpisahkan. 

Rasanya, tidak ada pasangan di dunia ini yang mau mengikrarkan diri untuk menikah tanpa dibarengi dengan adanya kerinduan, cita-cita, khayalan, dan impian untuk berbahagia dalam situasi apapun bersama pasangannya. 

Kalau itu kemudian terjadi maka, itu hanya akibat dari ego dan kepentingan sesaat yang sulit terkendalikan dengan akal dan nurani yang sehat. 

Maka, sebekum menikah, bersiaplah untuk menerima kenyataan bahwa ikatan perkawinan yang akan  dijalani adalah ikatan yang tak terceraikan atau terpisahkan oleh kekuatan apapun kecuali maut. 

4. Bebas Tapi Terikat

Dalam ritual perkawinan, di sana terdapat salah satu bagian yang walaupun bukan menjadi penentu sah atau tidaknya suatu perkawinan tetapi, memiliki makna yang cukup mendalam yakni pengenaan cincin perkawinan pada jari manis pasangan sebagai tanda cinta dan kesetiaan. 

Dengan saling mengenakan cincin perkawinan, sepasang suami-isteri hendak menegaskan dalam diri sendiri dan kepada orang lain bahwa mulai saat itu, ada ikatan cinta dan kesetiaan yang tak terputuskan di antara mereka. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sepasang suami-isteri, tidak hanya diikat dengan janji perkawinan yang diucapkan tetapi juga, diikat dengan sebuah cincin yang dikenakan pada jari manis. 

Dengan adanya kedua tanda atau simbol itu, pada saat yang sama kepentingan pasangan jauh berada di atas segala-galanya ketimbang kepentingan orang lain. 

Sedekat bagaimanapun dan sepenting apapun kepentingan teman, sahabat, atau rekan kerja, kepentingan pasangan harus lebih diutamakan. 

Oleh karena itu, sebelum menikah, bersiaplah untuk menerima kenyataan bahwa semenjak mengucapkan janji perkawinan dan mengenakan cincin di jari manis, akan ada ikatan yang membuat seorang laki-laki atau seorang perempuan agar memiliki keterbatasan dalam relasi, hubungan, komunikasi, kerja sama, atau kepentingan apapun dengan orang lain. 

SALAM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun