Mohon tunggu...
MEX MALAOF
MEX MALAOF Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Terus Bertumbuh dan Berbuah Bagi Banyak Orang

Tuhan Turut Bekerja Dalam Segala Sesuatunya

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Demi Konten TikTok, Harga Diripun Jeblok

17 September 2020   04:42 Diperbarui: 17 September 2020   18:30 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demi konten TikTok, apapun dilakukan termasuk hal-hal kontroversial (NARINDER NANU/AFP via Getty Images) 

Semua Baik Adanya

Kemajuan dalam bidang apapun yang dicapai oleh manusia, pada umumnya bertujuan untuk kebaikan manusia itu sendiri, tak terkecuali dengan sarana-sarana media sosial yang tersedia saat ini. 

Aplikasi-aplikasi seperti YouTube, Facebook, Twiter, TikTok, dan lain sebagainya, memudahkan manusia untuk berelasi, berkomunikasi, beraksi, dan berekspresi tanpa batas, kapanpun dan di manapun ia berada. Dari sekian sarana yang tersedia, sejauh ini, Tik Tok merupakan aplikasi terbanyak non game yang diunduh di seluruh dunia.

Akhir-akhir ini, beramai-ramai masyarakat Indonesia dari berbagai macam golongan, berlomba-lomba untuk bertiktok ria. Aplikasi tempatnya video ponsel pendek ini, dihiasi dengan beragam konten yang sangat menghibur. Banyak sosok dan kelompok tertentu yang kemudian menjadi terkenal berkat aksi Tik Tok yang dipertontonkan.

Tidak mengherankan kalau kemudian berdasarkan laporan tempo.co, fenomena ini menempatkan Indonesia sebagai nomor satu dunia pengguna aplikasi yang diluncurkan pada September 2016 itu, sepanjang bulan Agustus 2020. Bukan Tiongkok sebagai tempat peluncurannya.

Awal mulanya, konten yang diciptakan dan dimasukan ke dalam media sosial ini, masih sebatas tari-tarian, musik, dan nyanyi-nyanyian yang menghibur. Tapi lambat laun, segala sesuatunya menjadi berubah. Para pengguna media ini semakin liar dan tak kuasa untuk mengontrol diri. 

Kelakuan-kelakuan yang seharusnya tidak patut dipertontonkan kepada banyak orang, mulai marak dan dengan mudah dapat dijumpai di dalam jaringan sosial yang ciptakan oleh Zhang Yiming, pendiri Toutiao ini.

Korban TikTok
Beberapa aksi terbaru yang seharusnya tidak patut dan pantas untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai melalui akun media sosial ini adalah 3 orang gadis yang seenaknya merebahkan diri di tengah-tengah kebun teh. Ada pula 2 orang guru yang mendoakan muridnya agar meninggal karena mengeluh tentang belajar daring yang harus dilakukan demi menghindarkan diri dari dampak Covid-19.

Terhangat adalah viralnya seorang gadis di Magelang, Jawa Tengah yang mengendarai sepeda motor sambil memamerkan celana dalamnya. 

Satu jam kemudian, muncul lagi di aplikasi yang sama yang mempertontonkan 4 ibu-ibu yang merusak (menggunting) bendera Indonesia, lambang negara. Demi konten, masyarakat kita kehilangan akal sehat dan rela mempertaruhkan martabat dan harga dirinya sebagai manusia.

Sebagai makhluk yang berakal budi dan memiliki rasa, sebelum beraksi, berkreasi, dan berekspresi, seharusnya dipikirkan secara matang, mantap, dan jernih akibat yang akan timbul dari setiap tindakan dan bagaimana reaksi yang datang dari tindakan itu. Sehingga tidak ada penyesalan di kemudian hari. 

Tidak Belajar dari Kontroversi Sebelumnya
Berbicara tentang tindakan, perbuatan, dan kelakuan yang seharusnya tidak dipertontonkan kepada publik melalui jaringan media sosial, jauh sebelumnya telah ada. Hanya medianya saja yang berbeda.

Akibat dari peristiwa-peristiwa itupun sungguh jelas. Mereka yang dipandang bersalah, diberikan hukuman oleh pihak berwajib. Malahan, masyarakat mengutuk keras kejadian-kejadian seperti itu. 

Ibarat "anjing menggong, kafilah berlalu". Masih saja terdapat orang-orang yang berasal dari bangsa yang katanya lebih beradab dan lebih bermoral dari bangsa-bangsa lain di muka bumi ini yang kehilangan akal sehat, perasaan, martabat, derajat, dan harga diri, lalu bertindak konyol demi sebuah konten (ketenaran).

Sadar atau tidak, cerita, kisah, dan peristiwa-peritiwa yang terdengar dan terjadi selama ini dan tidak tertutup kemungkinan akan terjadi lagi pada masa-masa yang akan datang, menunjukkan bahwa manusia dijajah oleh hasil ciptaannya sendiri. Manusia menjadi budak dari teknologi. 

Manusia yang seharusnya menjadi tuan atau penguasa atas ciptaannya, dikuasai kembali oleh hasil ciptaannya sendiri. Menjadi pertanyaan adalah haruskah yang telah tercipta itu dimusnahkan?

Tidak. Ia harus disiasati dengan bijak oleh manusia penciptanya agar manusia itu sendiri tidak terperangkap dalam tawarannya yang hanya mendatangkan kesenangan sesaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun