Masyarakat indonesia hidup di lingkungan yang beragam, ada yang menempati wilayah perkotaan dengan kesenjangan perekonomian dan gaya hidupnya masing-masing, ada yang menempati wilayah pegunungan dan Desa pertanian, ada yang menempati wilayah pesisir dan Desa Nelayan, dan ada yang menempati wilayah pedesaan dengan ciri khasnya masing-masing.
Keberagaman latar belakang hidup masyarakat Indonesia menuntut kurikulum yang sesuai konteks hidup mereka. Aparat Negara tentu saja kewalahan memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia yang begitu beragam, jika pemerintah sanggup maka hal yang perlu dibuat adalah mengerahkan aparat pemerintahan untuk melakukan riset latar belakang kehidupan masyarakat Indonesia di setiap wilayah. Kemudian hasil riset akan digunakan untuk menyusun bahan ajar yang sesuai dengan konteks hidup masyarakat di masing-masing wilayah.
Tentu saja hal ini bisa dibuat, tetapi akan memakan waktu dan anggaran yang tidak sedikit. Penyelidikan ilmiah yang serius dan kritis atas persoalan pendidikan akan diperoleh dengan bayaran yang sesuai. Kemudian penyusunan bahan ajar oleh staf ahli akan menuntut biaya juga. Memang sesuatu yang bermutu itu tidak pernah diperoleh dengan cuma-cuma, harus ada bayaran yang setimpal.
Lalu pertanyaannya, apakah negara kita takut rugi untuk mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit demi  kebaikan anak bangsa? Kemendikbudristek melihat peluang lain untuk menjawab persoalan ini. Para Guru di setiap satuan pendidikan sudah memiliki kemampuan dasar untuk mengolah persoalan-persoalan yang sering mereka jumpai, mengapa mereka tidak diberi kesempatan dan kebebasan untuk menyusun kurikulum operasionalnya sendiri?
Hal ini tentu saja akan mempermudah pemecahan masalah dengan anggaran yang tidak begitu besar. Anggaran yang ada bisa dialokasikan untuk pembangunan gedung sekolah di desa-desa yang masih menggunakan bangunan darurat dan tidak layak pakai.
Dengan demikian, lahirlah kurikulum merdeka yang memungkinkan penerapan bahan ajar yang lebih kontekstual dan sesuai dengan latar belakang kebudayaan, visi misi setiap satuan pendidikan dan taraf hidup penduduk masing-masing wilayah --tanpa melalui suatu prosedur yang rumit. Penerapan sistem pendidikan merdeka belajar tentu saja menuntut para guru untuk lebih tanggap, kreatif dan inofatif  terhadap realitas dunia yang berada di sekitar mereka.
Fokus pada Materi Esensial: Tanggapan atas Realitas Belajar Mengajar di Indonesia
Saya sempat mewawancarai seorang teman yang telah menjadi Guru Matematika di sebuah SMA di Kabupaten Ngada, Flores NTT. Beliau menjelaskan demikian: "kurikulum merdeka itu bagus sekali, karena fokus pada materi esensial atau materi-materi yang penting. Para Guru bebas mengatur sistem belajar mengajar yang efektif dan mendalam".
Pembelajaran yang fokus pada materi esensial tentu saja akan membawa dampak positif pada kualitas pemahaman para murid dan gaya mengajar para guru. Saya yakin setiap orang yang pernah mengenyam pendidikan tahu persis suka dan duka menghadapi pengajar dengan berbagai karakteristik --realitas pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa ada pengajar yang mengajar dengan perlahan-lahan dan ada yang mengajar dengan sangat tergesa-gesa.
Ada pengajar (Guru/Dosen) yang mengajar dengan sangat terburu-buru. Hal yang ada di dalam kepala mereka adalah menyelesaikan bahan ajar atau materi secepatnya, seakan-akan tidak memerdulikan pemahaman yang dimiliki oleh para murid. Para murid yang belum paham dibiarkan begitu saja, mereka tidak akan pernah memahami materi yang diajarkan apabila tidak ada motivasi personal untuk mencari tahu sendiri.
Para murid berjuang sendiri untuk memahami itu baik, tetapi akan lebih baik jika proses memahami itu dibimbing oleh para pengajar. Para pengajar memiliki tanggung jawab penuh atas perkembangan pemahaman para pelajar. Kegagalan para pelajar memahami adalah juga kegagalan para pengajar dalam memberi pemahaman.