"Terserah kau lah, tapi kau yang menyetir."
"Tapi dari kita berdua, yang memiliki surat izin mengemudi hanyalah dirimu." ucapku dengan nada sinis.
"Dan itulah letak masalah nya." Jansen sudah mulai menggeram, dan terlihat amarahnya sudah mulai meluap.
"Okelah baby brother, kau menang. Kulakukan apapun yang kau minta hanya untuk mendiamkan mu."
Aku pun hanya tertawa melihat kesalnya Jansen.
***
Perjalanan ini tidak jadi lebih baik lagi setelah aku menang lagi dalam perdebatanku dengan Jansen tentang lagu. Mungkin perjalanan ini ia sibuk memikirkan sesuatu sehingga ia malas berdebat dengan ku, sebab selama hidupku tinggal dengan Jansen, ia bukan lah tipe orang yang mau mengalah terhadap sesuatu. Tapi sekalipun ia sedang fokus akan sesuatu, ia akan mengabaikan dunia luar dan fokus dengan diri sendiri.
"Ada apa denganmu hari ini Jansen? Kau tampak diam saja dari tadi."
Jansen pun tak langsung menjawab, butuh ia sekitar enam sampai delapan detik untuk membuka mulutnya. Hal seperti ini jelas sekali menandakan ia sedang memikirkan sesuatu.
"Tidak apa"
"Hey, kenapa dari kau yang pagi tadi sudah pamer kalau kau bisa memasak, setidaknya sandwhich yang bisa dimakan, kemudian ditambah dengan pencurahan hatimu terhadap Shirley yang kau bicarakan terus selama di London. Tiba-tiba saja jadi murung begini, aku sudah tinggal bersamamu seuruh hidupku, jadi kau tak perlu berpura-pura dan katakan saja apa yang terjadi padamu?"