Buku 'Komunikasi Sadar Budaya - Nuansa lain Studi Komunikasi Lintas Budaya' (2020), adalah hasil olah pikir kritis dan kreatif,  putra asli Indonesia  yang  mesti diapresiasi dan disebarluaskan. Pasalnya,  selain pemabahasannya bersifat komprehensif, sebagaimana judulnya, buku ini  benar-benar memberi nuansa ang berbeda.Â
Keunikan itu tentu saja karena Pater Lukas Batmomolin meramu tema komunikasi dan budaya --tema pokok buku ini--, setelah melakukan pengembaraan akademis yang panjang (1983-2000), Â mulai dari Ledalero, sebuah desa terpencil di Indonesia timur, hingga ke Washington D.C., ibukota negara adidaya, AS.Â
Buku ini juga merupakan buah refleksi kritis atas pengalaman pelayanannya sendiri selama 30 tahun, sejak di penerbitan Katolik di Ende, Flores,, hingga menjadi Communication Coordinator Provinsi SVD Chicago, AS,  dan menjadi  dosen tamu di berbagai forum  internasional. Â
Pater Lukas membagi tulisannya atas tiga Bagian, tidak termasuk bagian Pendahuluan dan Penutup. Â Pada bagian 'Pendahuluan', dia menekankan pentingnya kesadaran (saya atau kita sebagai pribadi) akan keberadaan pribadi 'yang lain'.
Pada 'Bagian Pertama: Komunikasi dan Budaya' (hal.39-176), dia mengulas secara detil mengenai awal perkembangan studi komunikasi dan budaya; Â paradigma-paradima studi komunikasi dan budaya (paradigma fungsionalis atau sosial ilmiah, interpretatif, kritis, dan dialektis; dan faktor-faktor penting studi komuniasi dan budaya seperti faktor respresntatif dan konstituitif dari komunikasi, faktor budaya sebagai kata kerja dan pengertian 'budaya' yang sangat beragam; faktor diri (self) independen vs interdependen; persepsi diri, terutama aspek yang terfokus pada diri sendiri (relational self-focused), dan yang terfokus pada yang lain (relational other-focused); dan faktor bahasa.
Menurut dia, faktor bahasa misalnya, dapat berfungsi tidak hanya untuk membantu seseorang memahami kesamaan antar sesama umat manusia, melainkan juga untuk membantu kita memahami perbedaan dan keanekaragaman pemikiran dan sikap dari pribadi lain karena pengaruh budaya yang berbeda. Pemahaman semacam itu memiliki implikasi yang mendalam sehubungan dengan pengembangan kesadaran kritis tentang hubungan sosial. Memahami hubungan sosial dan cara kerja budaya lain adalah dasar dari urusan bisnis globalisasi yang sukses.
Pada 'Bagian Kedua: Memahami Perbedaan Antar Budaya' (hal.187-341), Pater Lukas mengulas secara lengkap mengenai konteks perbedaan antara budaya. Di sini, dia bahkan  secara khusus membahas perbedaan budaya berdasarkan nilai, persepsi dan pandangan dunia; orientasi nilai; orientasi manusia -- alam; orientasi waktu; orientasi aksi vs relasi.Â
Selanjutnya, dia mendiskusikan mengenai perbedaan budaya menurut dimensi-dimensi nilai ala Geerzt Hostede dan catatan kritis atasnya. Yang menarik, bagian ini dilengkapi dengan ulasan mengenai kerangka konseptual pengenai perbedaan antar budaya (hal.258-341) , suatu pambahasan yang  sering diabaikan oleh para penulis buku-buku sejenis.
'Bagian Ketiga: Komunikasi Sadar Budaya' adalah  jantung dari buku ini (hal349-451). Pater Lukas mengawai bagian ini dengan mendiskusikan perihal kesadaran yang berproses menggunakan tujuh perspektif. Pertama, ia menjelaskan perspektif hermeneutika antar budaya ala Merlau-Ponty. Menurut perspektif ini, komunikasi sadar budaya melibat empat faktor penting yaitu kognisi, empati, sikap dan tindakan. Dengan demikian, komunikasi antar budaya adalah sebuah upaya yang berproses untuk menjadi pribadi yang memiliki kompetensi budaya (being) dan kemampuan untuk mewujdukannya lewat sikap dan perilaku individual (doing).
Selanjutnya ia mengemukakan perspektif  Jurgen Habermas tentang pribadi-pribadi yang berkomunikasi secara sadar (rasional) dalam mansyarakat menggunakan bahasa. Dia pun menyinggung soal empat faktor komunikasi sadar budaya menurut Richard L. Wiseman, yaitu motivasi, pengetahuan,  sikap dan tindakan.
Kemudian ia juga mendiskusikan perihal asumsi-asumsi dasar komunikasi sadar budaya yaitu resistensi, ekspektsi, kepekaan dan keterbukaan;  aspek indikatif komunikasi sadar budaya; dan model perkembangan kepekaan  budaya  yakni tahap etnosentris, dan  tahap etnorelatif; serta dialog antar budaya baik melalui diskursus budaya, maupun  pemberdayaan masyarakat (dialog sebagai ruang bersama, membangun dialog dalam budaya sendiri, dan dialog untuk memaknai pengalaman hidup kolektif).