Mohon tunggu...
Maximus Ali Perajaka
Maximus Ali Perajaka Mohon Tunggu... Dosen - Dosen; Penulis

Alumnus STFK Ledalero, Maumere-Flores, Asian Social Institute Manila, Philippines, CCFA Program, Des Moines, Seattle, WA

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

"Komunikasi Sadar Budaya": Penting dan Niscaya (1)

2 Januari 2021   17:59 Diperbarui: 2 Januari 2021   18:06 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. pribadi penulis

Orientasi Interdisipliner

Pater Lukas menandaskan bahwa bukan budaya yang berkomunikasi satu sama lain, baik pada level individu, kelompok maupun massa, melainkan manusia dengan latar belakang budaya berbeda. Jadi,  aneka persamaan, terlebih beragam perbedaan antar budaya, adalah konteks di mana umat manusia melangsungka komunikasi. Oleh karena itu, kesadaran pribadi akan keberagamanan bentuk dan ekspresi budaya adalah imperatif agar  sebuah komunikasi berlangsung efektif.

Bagi Indonesia, tulis Pater Lukas, keberagaman budaya masyarakatnya adalah sebuah kekayaan, sekaligus modal yang mesti dimanfaatkan untuk mendukung proses pembangunan guna meraih kesejateraan bangsa dan negara. Langkah strategis menuju ideal ini adalah meningkatkan kesadaran budaya, pada level individual dan kelompok, melalui proses pembelajaran, baik lewat pendidikan formal maupun pengalaman kongkrit sehari-hari. (hal.9).

Dalam visi seperti itu, Pater Lukas meramu bukunya dengan dua tema utama yaitu komunikasi dan budaya. Sebagai titik tolak pembahasan, Pater Lukas, menggunakan pendekatan filosofis Emmanuel Levinas yang mendiskusikan soal 'Sadar Akan Keberdaan Yang Lain'. Menurut Levinas, setiap manusia memiliki tanggung jawab etis terhadap orang lain.

Tanggung jawab (etis) pribadi terhadap orang lain adalah sebuah kewajiban. Sebab, kehadiran dari yang lain adalah sebuah perintah kepada saya untuk menunjukan tanggung jawab etis saya kepadanya lewat ekspresi  Dengan demikian keberadaan saya sebagai pribadi tidak ada artinya tanpa keberadaan pribadi lain. Bahkan, sebagai pribadi, saya tak dapat hidup tanpa diri yang lain itu. Malangnya, kita tidak selalu menghargai keberadaan yang lain sepatansnya. Hal ini menjadi sulit ketika tahu bahwa terdapat perbedaan yang nyara antara diri kita (saya) dan dia dalam hal tertentu, misalnya suku, daerah asal, bahasa, atau pun agama.

Sebagai solusinya, dengan merujuk ke Levinas, Pater Lukas menyatakan bahwa setiap pribadi perlu menyadari transendensi relasi antar pribadi. Bahwa transendensi bukanlan sesuatu yang ilahi saja sifatnya, melainkan adalah juga bagian dari waktu dalam keseharian kita. Oleh karena itu, keadilan dan perlakuan yang wajar kepada satu sama lain itu mesti dimulai dari dalam keluarga, bukan pada level masyarakat luas. Keluarga hendaknya membantu seorang anak untuk belajar tentang relasi antar muka (face to face encounter) dan tanggung jawab etis kepada yang lain (hal.12-21).

Menurut Pater Lukas, komunikasi lintas budaya juga membutuhkan pendekatan interdisipliner dan suatu refleksi kritis. Artinya, komunikasi dan budaya melibatkan literasi di bidang-bidang seperti filsafat, antropologi , studi budaya , psikologi dan komunikasi. Bidang ini juga telah bergerak ke arah perlakuan hubungan antaretnis, dan ke arah studi strategi komunikasi yang digunakan oleh populasi budaya bersama , yaitu, strategi komunikasi yang digunakan untuk menangani populasi mayoritas atau arus utama.*** (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun