Suatu hari, Ibu marah padaku. Ia sangat marah, sampai-sampai waktu itu ia mengusirku dari rumah. Aku lupa entah kesalahan apa yang aku lakukan, namun yang pasti itu adalah kesalahan yang sangat fatal. Â Aku ingat betul, tubuhku menggeletar mendengar gelegar amarah ibuku saat itu.
Aku mengurung diri di dalam kamar. Saat itu aku kelas 1 SMA. Aku mengunci kamar, memutuskan tidak makan dan tidak pergi ke sekolah. Berharap keadaan membaik esok harinya. Namun kenyataannya tidak begitu.
Sepulang kerja, ibuku masih tetap marah. Dengan perasaan campur aduk antara emosional dan rasa takut, aku pergi dari rumah. Aku tidak tahan mendengar ocehan ibuku yang terus saja menyudutkanku. Tidak ada yang membela aku, termasuk bapak.
Aku pergi dan menginap di kost-an temanku. Sehari setelah aku pergi aku berharap mereka-bapak atau ibu meneleponku. Nyatanya tidak. Mereka sama sekali tidak mencariku. Barangkali aku bukan anak kandungnya. Itulah yang tersirat di pikiranku saat itu.
Bener kata orang,
Tinggal di rumah teman itu enaknya satu sampai tiga hari. Paling bertahan ya, seminggu. Namanya juga manusia pasti mengalami selisih paham. Apalagi bagi yang menumpang seperti aku, ya sadar dirilah. Begitu kira-kira.
Dengan perasaan dilema. Mau tak mau aku akhirnya pulang. Ada perasaan gengsi dan malu. Tapi, apalah yang bisa aku lakukan di usia segitu kala itu? Mungkin untuk tidak jajan bisa menahan diri, namun untuk biaya sekolah?Apa daya. Pulang menjadi pilihan yang tepat.
Di perjalanan pulang, banyak hal mengisi otakku. Aku membayangkan bagaimana reaksi ibu dan bapakku. Mereka pasti marah! Pasti. Itulah yang terlintas di pikiranku. Tamatlah riwayatku.Â
Aku tiba di rumah. Dengan kaki yang ku rasa sangat berat untuk di langkahkan. Aku masuk ke rumah. Mengucap salam. Ibuku yang sedang sibuk berjibaku di dapur tak menjawab salamku. Aku yakin ibu masih marah, karena itu ia tidak menjawab salamku. Aku tak melihat bapak dan kedua saudaraku. Barangkali mereka masih berada di ladang.
Aku sudah tidak tahan. Aku berlari menghampiri ibuku dan memeluknya dari belakang. Ia terlihat terkejut. Akupun merasakan yang sama. Aku terkejut. Takut respon yang diberikan tidak sesuai dengan harapanku.
Aku salah.
Ibu membalikkan badan dan menyambut pelukanku. Ia mencium puncak kepalaku. Ia juga mengelus elus kepalaku. Aku menangis di pelukan ibu. Aku meminta maaf karena sudah melukai dan mengecewakannya.Â
"Ibu menyayangimu" perkataan ini menghangatkan jiwakuÂ
Tiap kali mengingat kisah ini, aku diingatkan bahwa keluarga adalah rumah. Tempat kita bisa kembali kapanpun kita mau. Tidak pernah ada kata ruangan penuh. Sebab akan selalu ada ruangan tersedia untukmu.
Kesalahan yang kita lakukan tidak lantas membuat kita kehilangan kunci itu. Kita akan kehilangan kunci, ketika kita telah memutuskan untuk tidak pernah kembali lagi. Selama keinginan untuk kembali tetap melekat di hati, artinya kita masih punya kunci.Â
Ini pesan Bapak padaku :Â
"Ingatlah untuk pulang ke rumahmu. Sereot apapun rumah itu, kau harus sadar di sanalah kau besar. Atap daunnya itu-nya yang melindungi tubuhmu dari matahari dan hujan. Dinding papannya yang melindungimu dari ancaman luar. Jangan pernah malu mengakui gubuk reot kita ini, jika nanti rumahmu sudah gedongan."
Aku merenungkan perkataan bapak. Seolah-olah ia mengatakan, jangan pernah malu mengakui keluargamu. Merekalah yang selalu mendukungmu. Yang telah mengorbankan dirinya untukmu. Tidak ada di luar sana yang bersedia mengorbankan dirinya mati-matian untukmu. Hanya keluargamu. Jika kau tidak mendapatkan penerimaan yang hangat di luar, pulanglah. Jika dunia menolakmu, jangan ragu dan dapatkan kembali kekuatan dari rumahmu. Selalu tersedia ruang bagimu, dan Api cinta di rumahmu tidak akan pernah padam untuk menghangatkanmu.Â
Jika kau merindukan rumah, jangan ragu untuk pulang.
Pulanglah....
Pekanbaru, 30 Maret 2020
Mawvitasa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H