Aku salah.
Ibu membalikkan badan dan menyambut pelukanku. Ia mencium puncak kepalaku. Ia juga mengelus elus kepalaku. Aku menangis di pelukan ibu. Aku meminta maaf karena sudah melukai dan mengecewakannya.Â
"Ibu menyayangimu" perkataan ini menghangatkan jiwakuÂ
Tiap kali mengingat kisah ini, aku diingatkan bahwa keluarga adalah rumah. Tempat kita bisa kembali kapanpun kita mau. Tidak pernah ada kata ruangan penuh. Sebab akan selalu ada ruangan tersedia untukmu.
Kesalahan yang kita lakukan tidak lantas membuat kita kehilangan kunci itu. Kita akan kehilangan kunci, ketika kita telah memutuskan untuk tidak pernah kembali lagi. Selama keinginan untuk kembali tetap melekat di hati, artinya kita masih punya kunci.Â
Ini pesan Bapak padaku :Â
"Ingatlah untuk pulang ke rumahmu. Sereot apapun rumah itu, kau harus sadar di sanalah kau besar. Atap daunnya itu-nya yang melindungi tubuhmu dari matahari dan hujan. Dinding papannya yang melindungimu dari ancaman luar. Jangan pernah malu mengakui gubuk reot kita ini, jika nanti rumahmu sudah gedongan."
Aku merenungkan perkataan bapak. Seolah-olah ia mengatakan, jangan pernah malu mengakui keluargamu. Merekalah yang selalu mendukungmu. Yang telah mengorbankan dirinya untukmu. Tidak ada di luar sana yang bersedia mengorbankan dirinya mati-matian untukmu. Hanya keluargamu. Jika kau tidak mendapatkan penerimaan yang hangat di luar, pulanglah. Jika dunia menolakmu, jangan ragu dan dapatkan kembali kekuatan dari rumahmu. Selalu tersedia ruang bagimu, dan Api cinta di rumahmu tidak akan pernah padam untuk menghangatkanmu.Â
Jika kau merindukan rumah, jangan ragu untuk pulang.
Pulanglah....
Pekanbaru, 30 Maret 2020