"Ibu ...! Lihat buah kersen berbuah banyak. Aku mau, boleh ya, Bu?" pintanya penuh harap pada sang ibu yang berpenampilan tidak kalah kumal darinya.
"Iya boleh. Ibu juga capek." Sambil mengawasi anaknya yang riang di bawah pohon, sang ibu duduk pada pos gardu yang tersedia.
Dengan mata berbinar, anak sebelas tahun itu mengambil kayu panjang, untuk memukul ranting pohon, berusaha menjatuhkan buah-buahnya. Sementara Pak Kersen membantu dengan menggoyang dahan dan kepalanya agar buahnya berjatuhan lebih banyak lagi. Setelah puas dengan buah kersen, sang anak menghampiri ibunya dan menawarkan untuk memakan buah bersama. Puas makan kersen dan beristirahat, ibu dan anak pun bersiap untuk pergi.
"Ibu, besok kita ke sini lagi?" tanya anak itu riang.
"Enggak! Di sini sudah banyak pemulung. Tidak banyak rongsokan yang kita dapat di sini. Kita kembali ke tempat biasa," ucap sang ibu sambil melangkah pergi dengan gendongan karung di belakangnya. Si anak tertunduk lesu, namun  kakinya ia seret mengikuti sang ibu.
Pak Kersen yang sejak tadi bergembira, kembali bersedih, mendengar bahwa anak tadi tidak lagi datang untuk  esok hari dan seterusnya.
Hari-hari kembali dilalui dengan kesepian, hanya pipit dan burung gereja yang masih setia menemani. Tidak ada lagi anak-anak yang mau bermain di bawah pohon kersen. Pohon kersen yang rindang lebih sering dijadikan tempat istirahat para driver ojek online, setiap hari selalu ramai. Setiap hari pula Pak Kersen, menjatuhkan buah-buahnya, namun, tidak satu pun yang acuh dan tertarik. Â Motor dan sepatu mereka kerap menginjak dan melindas buah-buah kersen yang kecil dan merah itu tanpa sisa.
***
Cerpen ini saya ikut sertakan dalam sayembara pulpen ke XXIÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H