Abi, selama lima tahun lebih dibawa pergi ke seberang lautan, meninggalkan keluarga hidup penuh kegetiran. Umi harus banting tulang menghidupi enam nyawa, aku yang kehilangan cinta pertama,  Kak Azam yang kehilangan sosok panutan. Kini Abi dinyatakan tidak bersalah? Lelucon macam apa ini? Aku ingin bersyukur, namun hatiku teramat pilu.
"Alhamdulillah ... Allah Maha baik, membukakan tabir. In sya Allah Abi akan pulang." Umi terus saja bersyukur dan senyuman menghias wajahnya berbarengan dengan derai air mata.
"Apa Umi tidak marah atas musibah yang kita hadapi ini?" tanyaku pada Umi, yang masih terus saja bersyukur.
"Orang hidup itu diuji, ujian akan mendewasakan dan mengangkat derajat. Mendekatkan kita kepada Allah. Zahra, kini semakin dewasa, bertanggung jawab dan bisa Umi andaikan, adalah salah satu hikmah dari ujian yang kita hadapi. Semua terjadi atas Izin Allah." Â Umi mengusap rambutku dan pergi menuju kamar mandi untuk berwudu.
Abi ... sekian lama engkau pergi, kini akan kembali. Abi ... pasti Abi pangling, melihat Zahra yang kini sudah menjadi gadis. Abi, lihatlah Azam begitu tinggi, berambut ikal seperti Abi, dia sudah kuliah semester empat. Abi, Aisy menjadi tahfiz quran  di pesantren, meski dia tumbuh menjadi gadis yang sensitif dan kurang bergaul. Ali kini sudah kelas empat SD dan Salwa telah berusia lima tahun, pandai berceloteh,  bernyanyi dan tidak suka berbagi.  Abi, nanti jika kelak Abi pulang, aku tak lagi merana. Abi, apakah aku harus memaafkan mereka, yang entah siapa? Abi ... Abi ... Abi ....
#Cerpencintapertama #PulpenÂ
#Sayembarapulpenxix
Cerpen ini saya ikutan untuk Sayembara Pulpen XIX dengan tema cinta pertama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H