"Ada apa  Neng? Di mana si Abi sekarang?" Nini bertanya dengan suara bergetar. "Neng teu terang, Mah!  Untungnya, setelah Zahra ngabarin soal Abi, Neng langsung pulang ke rumah. Neng amankan semua simpanan uang, uang gaji para guru TK, uang infak para donatur, ATM dan semua barang berharga. Entah kenapa firasat Neng, harus bergerak cepat. Neng langsung simpan di bank semua uang. Tapi uang simpanan Abi di lemari pakaian, Neng lupa. Dan sekarang udah ga ada."
"Apa ada yang hilang?" Nini kembali bertanya. Â Umi mengangguk lesu.
***
Sejak Abi pergi, aku terpaksa harus menjadi dewasa sebelum waktunya. Mengasuh ketiga adikku, kasihan sekali si bungsu, yang lahir tanpa kehadiran abinya. Selain itu aku harus membantu Umi mengajar pagi dan sore. Jarang bermain dan bahkan berhenti sekolah, setelah lulus SD. Hal terakhir ini yang paling menyakitkan. Cita-citaku berantakan.
Aku lelah harus berusaha tegar, aku juga ingin seperti mereka yang bisa bercengkerama dan mengadu pada ayahnya. "Aku lelah, aku sedih. Aku rindu Abi, aku rindu Abi ...," ratapku seorang diri.
Alih-alih menjadi anak yang tegar, malah aku jadi si pemberontak, kerap mengabaikan semua perintah dan petuah Umi. Aku ingin menggugat, menolak takdir, rasanya ini sangat berat.
***
Bandung Agustus 2022.
Kami sedang ngobrol santai di ruangan sederhana, tempat kami berkumpul. Kami semua hadir, Azam kakak lelakiku, Ali, Aisy, si bungsu Salwa dan aku, tentu saja tanpa Abi. Umi sedang ada tamu dan berbicara di teras, kami tahu mereka Densus 88.
"Ibu, ini adalah berkas-berkas pernyataan bahwa suami ibu, bersih." Aku tajamkan pendengaran, bukan aku tidak sopan, usiaku kini sudah hampir menginjak tujuh belas tahun. Aku layak tahu semua tentang keluarga terlebih tentang Abi.
"Maksud Bapak, bersih?" tanya Umi.
"Iya. Pak Miftah dinyatakan tidak bersalah. Saat ini kami sedang mengusahakan kebebasan beliau. Semoga kurang dari satu tahun ya." ucap tamu itu dengan enteng.
"Ya Allah, serius Pak? Alhamdulillah, terima kasih, Pak. Atas bantuannya!"
Tamu itu pun pergi dengan meninggalkan amplop berisi uang. Untuk anak-anak katanya. Wajah Umi bersimbah air mata. Sujud syukur ia lakukan. Aku terpaku, rasa sakit hati yang begitu hebat kembali menghantam dada ini. Sama seperti saat aku menyaksikan kepergian Abi bersama pria-pria bersenjata tak dikenal. Rasa sakit, kecewa dan amarah yang entah harus kepada siapa aku muarakan.