Mohon tunggu...
Arofiah Afifi
Arofiah Afifi Mohon Tunggu... Guru - Guru Paud.

Hobi membaca, menulis blog. Penulis artikel, sedang mendalami fiksi dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pohon Jambu yang Ditanam Abah

1 Agustus 2024   16:50 Diperbarui: 26 Agustus 2024   21:58 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku dan beberapa tetangga sedang sibuk di dapur. Menyambut kedatangan keluarga besar dari calon suami adikku. Hari ini adalah hari lamaran Sekar, anak mama paling bungsu, adik tepat di bawahku. Ketiga kakakku meluangkan waktu dari kesibukan kerjanya, untuk acara besar tersebut. Tentu saja tidak ingin melewatkan momen spesial dan membuat adik bungsu mereka, yang manja itu kecewa.

Acara lamaran berlangsung hikmat, berlanjut dengan diskusi penanggalan pernikahan. Setelah menemukan kata sepakat, dua keluarga menyantap hidangan, ramah-tamah dan akhirnya mereka pamit pulang.

Di sela gurauan kami, kakak sulung mengarahkan pandangan ke luar rumah dan seperti sedang berpikir.

"Dua pohon jambu itu harus ditebang, agar halaman jadi luas dan cukup untuk menampung tamu undangan, juga pelaminan," ucap kakak sulungku di sela canda tawa kami.

Deg! Ada keresahan aku rasakan mendengar ucapan kakak.

"Jambu? Ditebang?" tanyaku memastikan.

"Iya, Dek. Halaman rumah kita ga cukup luas kalo ada pohon,"  kakak menjelaskan "mau pasang tenda di mana? Halaman tetangga?" ucapnya menegaskan.

"Ih, sayang lah, Kak. Itu jambu kan, selalu berbuah lebat!" protesku.

"Mau gimana lagi? Cuma pohon jambu, ini!"

 Aku tak lagi berkomentar, keputusan sudah final bahwa dua pohon jambu di halaman harus ditebang.

"Huh!" Aku hembuskan nafas kesal.

"Cuma pohon jambu! tahu apa Kakak tentang dua pohon itu?" Aku bermonolog.

Bukan sekedar berbuah lebat yang aku sayangkan, namun jauh lebih penting dari itu.

Merasa penat dan resah dengan rencana penebangan pohon jambu, aku pergi ke kamar dan merebahkan diri di atas kasur. Kamar yang aku tempati ini, dulu adalah kamar abah. Dengan cara ini, aku berusaha mengobati rindu. Mencoba menghirup aroma tubuhnya dari tiap sudut kamar ini.

Kusibak gorden jendela kaca yang langsung menyuguhkan pemandangan siluet dua pohon jambu yang berdiri kokoh, rindang meski tidak terlalu tinggi. Setiap pagi, di pohon jambu air, burung-burung bernyanyi menyambut pagi. Di sebelahnya lima meter ke arah selatan dari jambu air, berdiri jambu batu yang selalu berbuah manis. Tiap malam pasti akan ada kelelawar bertengger asyik menikmati buahnya.

Melihat dua pohon tersebut, aku tersenyum bahagia sekaligus bersedih mengingat keberadaannya yang tak kan lama lagi, menjadi penghias halaman.

Anganku berputar, ke lorong waktu menuju lima belas tahun yang silam.

***

"Abah sibuk apa?" Kuganggu kesibukannya yang sedang menanam. Kulihat tangannya penuh dengan tanah.

"Abah sedang menanam jambu hasil cangkok dari tetangga. Kalo ditanam cangkok, hasilnya akan lebih cepat tumbuh dan berbuah." Abah menjawab pertanyaanku tanpa menghentikan aktivitasnya. Aku belum begitu paham dengan yang abah ucapkan.

 Setelah selesai menanam ia melanjutkan ucapan.

"Coba lihat jambu tetangga itu, begitu lebat berbuah. Abah cangkok dari pohon jambu itu. Namanya jambu cingcalo madu." Abah menujuk jambu milik tetangga yang berbuah ranum.

"Abah! Kenapa Abah suka sekali menanam? Padahal pohon yang Abah tanam tidak selalu kita yang panen. Kadang habis sama tetangga atau hewan." Dengan polos aku bertanya.

"Abah suka menanam, karena menanam pohon itu banyak maslahatnya. Tidak sekedar buahnya bisa dipanen tapi lihat, pohon jambu batu yang rindang itu bisa buat kita berteduh." Pandangan abah mengarah pada pohon jambu batu.

Kata Abah, pohon jambu air dan jambu batu ini akan berumur panjang, sampai aku besar. Meski Abah nanti sudah tiada, pohon jambu ini akan tetap tumbuh. Buahnya bisa dipanen dan dibagikan pada tetangga. Bisa jadi alasan silaturahmi. Obrolan ini selalu aku ingat.

Jika musim berbuah, maka abah sendiri yang memanen buah jambu tersebut dan membagikannya pada tetangga. Tak jarang aku memanjat pohon jambu batu, untuk menguji adrenalin dan merasakan sejuknya angin sambil memakan buah jambu batu di atas pohon. Namun begitu, aku tidak berani memanjat jambu air, karna dahannya lebih kecil dan rapuh, juga pohonnya lebih pendek. Sementara jambu batu, tumbuh tinggi menjulang.

Hingga Abah wafat dan anak-anaknya tumbuh dewasa, dua pohon jambu yang ditanam Abah, tetap tumbuh dengan subur.

*****

Tok tok tok ...!

"Mbak Sofie!"

Suara Sekar di balik pintu membuyarkan lamunanku akan Abah dan pohon jambu.

"Masuk, Sekar!" seruku malas.

"Kenapa Mbak kusut begitu? Mbak ga senang ya aku nikah? Sekar duduk di sisiku.

"Bicara apa kamu? Bukan pernikahanmu yang bikin aku sedih. Tapi ..., karena pohon jambu Abah, akan ditebang." ucapku sendu. Keresahanku semakin menjadi.

"Maafkan aku, Mbak!"

"Bukan salahmu. Ayo kita makam!" Aku segera beranjak ke luar kamar untuk mempersiapkan makan malam keluarga.

Pagi hari, para lelaki tetangga kiri-kanan sudah ramai berkumpul, untuk menebang dua pohon jambu di halaman.

Prak!

Dahan jambu batu yang patah, seolah ikut mematahkan hatiku. Oh kenangan terakhir abahku.

Prak!

Patahan kedua, menumbangkan pohon jambu batu yang tumbuh tinggi, menyisakan separuh pohonnya. Berharap kelak masih bisa bertumbuh.

Prak!

Patahan ketiga, pohon jambu cingcalo madu dibabat hingga habis  karena tumbuh di tengah halaman.

Tak bisa ditahan, air mataku menetes. Hilang sudah pelipur rinduku pada  abah.

#cerpenkasihsayang

#pulpen#sayembarapulpenxvi

Cerpen ini saya ikut sertakan untuk sayembara pulpen XVI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun