"Cuma pohon jambu! tahu apa Kakak tentang dua pohon itu?" Aku bermonolog.
Bukan sekedar berbuah lebat yang aku sayangkan, namun jauh lebih penting dari itu.
Merasa penat dan resah dengan rencana penebangan pohon jambu, aku pergi ke kamar dan merebahkan diri di atas kasur. Kamar yang aku tempati ini, dulu adalah kamar abah. Dengan cara ini, aku berusaha mengobati rindu. Mencoba menghirup aroma tubuhnya dari tiap sudut kamar ini.
Kusibak gorden jendela kaca yang langsung menyuguhkan pemandangan siluet dua pohon jambu yang berdiri kokoh, rindang meski tidak terlalu tinggi. Setiap pagi, di pohon jambu air, burung-burung bernyanyi menyambut pagi. Di sebelahnya lima meter ke arah selatan dari jambu air, berdiri jambu batu yang selalu berbuah manis. Tiap malam pasti akan ada kelelawar bertengger asyik menikmati buahnya.
Melihat dua pohon tersebut, aku tersenyum bahagia sekaligus bersedih mengingat keberadaannya yang tak kan lama lagi, menjadi penghias halaman.
Anganku berputar, ke lorong waktu menuju lima belas tahun yang silam.
***
"Abah sibuk apa?" Kuganggu kesibukannya yang sedang menanam. Kulihat tangannya penuh dengan tanah.
"Abah sedang menanam jambu hasil cangkok dari tetangga. Kalo ditanam cangkok, hasilnya akan lebih cepat tumbuh dan berbuah." Abah menjawab pertanyaanku tanpa menghentikan aktivitasnya. Aku belum begitu paham dengan yang abah ucapkan.
 Setelah selesai menanam ia melanjutkan ucapan.
"Coba lihat jambu tetangga itu, begitu lebat berbuah. Abah cangkok dari pohon jambu itu. Namanya jambu cingcalo madu." Abah menujuk jambu milik tetangga yang berbuah ranum.