Mohon tunggu...
Arofiah Afifi
Arofiah Afifi Mohon Tunggu... Guru - Guru Paud.

Hobi membaca, menulis blog. Penulis artikel, sedang mendalami fiksi dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tersenyum dalam Luka, Perempuan

17 Mei 2024   10:59 Diperbarui: 17 Mei 2024   11:51 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar. Pixa bay


Setiap manusia pasti memiliki masalahnya masing-masing. Saat kita melihat wajah yang ceria, senyum hangat dan tawa, bukan berarti mereka hidup tanpa beban. Tapi karena mereka begitu pandai menyembunyikan semua ujian demi ujian. Namun percayalah tiada  duka yang abadi di dunia ini. Setelah gelap malam, maka akan tiba mentari pagi.
***

Ting!
 WhatsAap di gawaiku berbunyi. Kubuka dan terlihat sebuah pesan panjang dari seorang kawan lama, satu angkatan saat kuliah.


[Assalamu'alaikum malam. Hai sobat aku ingin bercerita. 

Sekian lama aku melangkah, semakin tangisan di jiwa ini melukai.  Besok genap 36 tahun Aku anak keempat dari tujuh bersaudara. Namun mengapa aku selalu dibedakan dengan mereka? Sampai detik ini aku masih bertanya,  mengapa aku harus selalu menangis dalam diam di balik senyuman?
Semua orang menganggap aku selalu bahagia, karena melihat senyum manisku yang selalu ceria. Tapi apakah ada yang bertanya 'Bahagiakah aku sesungguhnya?'

 Aku  selalu mendapatkan perlakuan yang berbeda dari orang tua, sering  disalahkan dan diabaikan. Meski telah kubaktikan diri, meski telah berkhidmat sepenuh hati. Salahku di mana?

Pun setelah menikah. Yang menjadi harapan dan impian, menemukan imam penyayang, melindungiku dan membasuh jiwaku yang terus dirundung luka. Namun apa? Bak pungguk merindu sang rembulan.   Sejak awal menikah aku tetap menangis dalam diam, tiada yang  tahu bahwa selama ini aku terus menangis dan membalut  luka di relung hati teramat dalam.  Diam dan  senyuman yang terus aku tampilkan,  demi menjaga nama baik semua. Demi kebahagiaan orang tua. Namun lukaku semakin meradang. Semakin menganga dan mengiris jiwa, membunuhku perlahan.
Seorang kawan berkata, kepadaku,  "Menangsilah engkau sepuasnya di depan-Nya, sampai  Allah memberikan pilihan yang amat terbaik kepadamu"
 Ini yang sedang aku lakukan,  agar senyumku dalam luka tak sia-sia. Hanya doa yang kumiliki sekarang.  Aku memohon kepada Penguasa langit dan bumi agar dalam senyumku tak ada luka lagi. Ada dua malaikat titipan sang Maha Pencipta yang harus aku jaga. Aku mohon doa agar aku dapat berdiri di kakiku sendiri,  agar Allah membukan pintu rezekiku seluas-luasnya.  Kutunggu bahagia yang  tertunda dan senyuman yang tak berkalang lara.]
Seroja, di serambi duka.
***

Hatiku tertegun membaca chat panjang dari Seroja. Begitu beratkah hidupnya?
Ingatanku menerawang pada awal perkenalan dengannya. Dia adalah perempuan yang acuh, dan terkesan kurang suka berbagi, ya setidaknya itulah yang aku nilai akan dia dulu. Meski akhirnya aku dapati sifat yang lain. Perempuan dengan tinggi 165cm itu ternyata begitu manja, dan perasa. Pintar dan terkadang terlihat begitu keras kepala. Di masa kuliah kami terlibat pertemanan yang cukup dekat. Namun sejak kami lulus, interaksi hanya terjalin sekali-kali.


Kukiirmkan chat balasan, dengan perasaan cemas.

[Waalikumsalam, Seroja. Bagaimana kabarmu?]

Ting!
Tidak menunggu lama chatku mendapatkan balasan.
[Alhamdulillah baik. Bisakah kita bertemu?]

[In sya Allah bisa. Kapan dan di mana?] Tanpa berpikir panjang, aku sanggupi janji bertemu.  Kami putuskan bertemu di area Masjid Agung kota di mana Seroja tinggal.
***

Tiba hari H pertemuanku dengan Seroja, sengaja aku datang lebih awal, sambil menikmati keramaian suasana di Mesjid Agung.

Ting!

Sebuah pesan masuk.
[Mbak. Posisi di mana? Ini aku menuju teras masjid.] Segera aku berdiri dari duduk dan mengedarkan pandangan. Seorang perempuan dengan gamis hijau dan jilbab senada melambaikan tangan.

"Hai! Assalamualaikum Seroja. Wah aku pangling sama kamu. Wajahmu kok awet muda ya," sapaku.
"Ah Mbak yang awet muda, ini penampilan Mbak yang tetap mungil. Tidak ada perubahan fisik berarti sejak kita berpisah ya!" sahutnya. Setelah kami berpelukan, kami duduk di teras mesjid.  Obrolan ringan pun mengalir, bernostalgia masa-masa di kampus yang cukup manis. Kami tertawa riang mengingat masa-masa menjadi mahasiswa.

"Mbak. Kita cari tempat nyaman yuk!" ajak Seroja.
Kami menuju lapangan Masjid yang cukup sejuk terlindangi pepohonan rindang dan sepi.

"Mbak. Sebelas tahun aku mengarungi rumah tangga. Kuterima semua kekurangan suamiku. Karena aku sadar bahwa aku juga manusia yang penuh kekurangan. Aku tidak pernah banyak menuntut. Saat suami tidak memberi nafkah lahir secara layak. Aku bantu ia dalam urusan ekonomi. Aku tutup semua kekurangannya, di mata keluargaku dan keluarganya.  Aku maafkan semua kekhilafannya. Aku terus bertahan agar biduk rumah tangga kami tidak karam. Tapi aku lelah, Mbak. Aku lelah bertahan sendirian."

Satu-satu  bulir air matanya menetes. Kubiarkan Seroja mengeluarkan gejolak hatinya sampai tuntas. Sekali-kali kuelus punggungnya hanya untuk sekedar memberikan dukungan moril.

"Kalo boleh tahu, apa masalah yang paling berat yang dihadapimu, Seroja? Aku memang tidak bisa memberimu solusi. Tapi, mengeluarkan semua luka dengan bercerita semoga sedikit membuatku lega." Hati-hati aku tanyakan  permasalahan intinya.

"Suamiku tidak bisa memberikan nafkah, lahir dan batin. Dia tidak pernah lagi bersikap manis. Aku manusia biasa yang juga punya hati, aku bukan patung menekin yang bisa terus diabaikan. Sebelas tahun, Mbak. Itu bukan waktu yang sebentar," ucapnya pilu.

"Apakah pernah kamu konsultasikan pada Ustazah yang kamu percaya?" tanyaku.

"Sudah Mbak."
"Apa jawabnya," tanyaku lagi penasaran.

"Bersabar. Ustazah dan keluargaku, mereka menyarankan agar aku bersabar. Sebelas tahun. Apakah aku kurang bersabar?"

Hemm.... Aku terdiam, menarik nafas dan mencoba mencari kata yang tepat. Aku khawatir memberikan pandangan yang keliru.

"Bagaimana komunikasimu dengan suami?" Kucoba mencari informasi agar pendapatku tidak malah menyudutkannya.

"Sudah kubangun komunikasi, sudah aku ajak konsultasi pada ahli, dan aku ajak memperbaiki hubungan kami yang semakin tidak jelas. Namun suamiku tidak pernah sungguh-sungguh dalam ikhtiarnya. Aku lelah Mbak. Aku bingung. Aku sudah meminta pisah jika dia tidak mau berubah, tapi dia tidak mau menanggapi. Lantas, dia anggap aku ini apa?" ucapnya penuh ratapan emosi.

"Seroja. Pertama, yang bisa aku sampaikan, sama seperti yang lain. Bersabar! Aku tahu kamu sudah bersabar dengan kuat bertahan sejauh ini. Karena sabar itu tiada berbatas. Teruslah bersabar dan terus berdoa. Perbanyak curhat kepada Allah. Menangislah, jika merasa tidak kuat dengan hidup ini sampaikan, adukan semua pada Allah. Jika kamu ingin berpisah. Istikharohlah. Cerai itu perkara yang dibenci Allah namun dibolehkan. Menjadi solusi terakhir problematika rumah tangga. Namun, satu yang aku tekankan. Jangan ambil tindakan sendiri. Jika memang harus berpisah, berpisahlah atas kehendak dan petunjuk-Nya."

"Aku sudah mantap, Mbak. Hati ini sudah yakin. Tapi usahaku untuk berpisah selalu gagal" potong Seroja.

"Itu artinya Allah belum rida. Tunggu sampai Allah memberikan keputusan itu."

"Tapi! Dua minggu lagi suami akan membawaku kembali ke Kalimantan. Aku khawatir, bagaimana jika Allah memberi keputusan, saat aku di sana? Jauh dari keluarga. Situasi akan semakin berat," ucap Seroja sambil ia hapus air matanya yang masih menetes.


"Tidak akan. Jika Allah memberikan keputusan, maka Allah juga yang akan memberi jalan ke luar yang baik. Allah tidak akan mengujimu di luar batas kemampuan. Tetap berprasangka baik pada-Nya. Ingat bahwa Allah sedang menyayangimu." Kujeda ucapanku.    
"Seroja. Lebih fokuslah pada diri dan anak-anakmu, mereka membutuhkanmu. Serahkan suamimu pada Allah. Semoga Allah membalikkan hatinya.  Janji Allah itu pasti. Setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Setiap rasa sakit, akan menggugurkan  dosa dan berbuah pahala. Allah Maha tahu kamu bisa. Bismillah, Seroja pasti bisa." Aku mengusap punggung tangannya. Tidak banyak yang bisa aku lakukan untuk membantunya.


"Iya Mbak. Astagfirullah. Bismillah. Ayo, Mbak. Kita cari Makan." Seberkas senyum terukir di wajahnya. Mengakhiri diskusi kami. Wajah yang begitu pandai menyembunyikan semua dukanya, pada palung hati terdalam.

Setelah makan, kami saling berpamitan dan  berpisah. Kupeluk tubuhnya dengan erat. Tak lupa senyuman kusematkan. Hari sudah melewati waktu asar dan aku harus sampai di rumah sebelum malam. Seiring doa, semoga sahabatku ini menemukan kebahagiaan cepat atau lambat.
***

 Syaidina Ali bin Abi Thalib berkata "Yakinlah, ada sesuatu yang menantimu setelah sekian banyak kesabaran (yang kau jalani), yang akan membuatmu terpana hingga kau lupa betapa pedihnya rasa sakit."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun