[In sya Allah bisa. Kapan dan di mana?] Tanpa berpikir panjang, aku sanggupi janji bertemu. Â Kami putuskan bertemu di area Masjid Agung kota di mana Seroja tinggal.
***
Tiba hari H pertemuanku dengan Seroja, sengaja aku datang lebih awal, sambil menikmati keramaian suasana di Mesjid Agung.
Ting!
Sebuah pesan masuk.
[Mbak. Posisi di mana? Ini aku menuju teras masjid.] Segera aku berdiri dari duduk dan mengedarkan pandangan. Seorang perempuan dengan gamis hijau dan jilbab senada melambaikan tangan.
"Hai! Assalamualaikum Seroja. Wah aku pangling sama kamu. Wajahmu kok awet muda ya," sapaku.
"Ah Mbak yang awet muda, ini penampilan Mbak yang tetap mungil. Tidak ada perubahan fisik berarti sejak kita berpisah ya!" sahutnya. Setelah kami berpelukan, kami duduk di teras mesjid. Â Obrolan ringan pun mengalir, bernostalgia masa-masa di kampus yang cukup manis. Kami tertawa riang mengingat masa-masa menjadi mahasiswa.
"Mbak. Kita cari tempat nyaman yuk!" ajak Seroja.
Kami menuju lapangan Masjid yang cukup sejuk terlindangi pepohonan rindang dan sepi.
"Mbak. Sebelas tahun aku mengarungi rumah tangga. Kuterima semua kekurangan suamiku. Karena aku sadar bahwa aku juga manusia yang penuh kekurangan. Aku tidak pernah banyak menuntut. Saat suami tidak memberi nafkah lahir secara layak. Aku bantu ia dalam urusan ekonomi. Aku tutup semua kekurangannya, di mata keluargaku dan keluarganya. Â Aku maafkan semua kekhilafannya. Aku terus bertahan agar biduk rumah tangga kami tidak karam. Tapi aku lelah, Mbak. Aku lelah bertahan sendirian."
Satu-satu  bulir air matanya menetes. Kubiarkan Seroja mengeluarkan gejolak hatinya sampai tuntas. Sekali-kali kuelus punggungnya hanya untuk sekedar memberikan dukungan moril.
"Kalo boleh tahu, apa masalah yang paling berat yang dihadapimu, Seroja? Aku memang tidak bisa memberimu solusi. Tapi, mengeluarkan semua luka dengan bercerita semoga sedikit membuatku lega." Hati-hati aku tanyakan  permasalahan intinya.
"Suamiku tidak bisa memberikan nafkah, lahir dan batin. Dia tidak pernah lagi bersikap manis. Aku manusia biasa yang juga punya hati, aku bukan patung menekin yang bisa terus diabaikan. Sebelas tahun, Mbak. Itu bukan waktu yang sebentar," ucapnya pilu.
"Apakah pernah kamu konsultasikan pada Ustazah yang kamu percaya?" tanyaku.