Mas Imam menyesap kopinya dan memandangku memuji. Walau tak sampai mengatakan,”Kopi buatanmu numero Uno,” tetapi aku berasumsi bahwa ia bermaksud begitu.
Ia semakin asyik berdiskusi dengan abah, yang membuatku entahlah.. ikut bangga.
“Keterlibatan pengijon bisa dihilangkan dengan kebersatuan para petani untuk melawan campur tangan mereka. Mungkin, suatu saat nanti bisa kita dirikan suatu koperasi yang kredibel, artinya terpercaya dan profesional,” jelasnya.
“.. akan disediakan kredit dengan bunga yang sangat rendah buat para petani kopi, hingga para pengijon takkan dibutuhkan lagi, dan dengan sendirinya mereka akan lenyap sendiri,” paparnya di lain kesempatan.
Ia mengutarakan kesemua hal tersebut dengan bahasa yang tak membosankan.
Umi kemudian bergabung bersama kami. Kami ramai-ramai bertukar pikiran dengannya, menanyakan ini itu, mengerubutinya bagai seorang pesohor.
Kerumpulan buah kopi rehat sejenak menyaksikan kebahagiaan keluarga kami.
**
Begitulah. Biasanya, sepulang dari kantor dan menyelesaikan urusannya, ia kerap bertandang ke rumah kami. Kehadirannya menjadi tak asing lagi, bukan hanya di rumah tapi juga di desa kami. Niatan hatinya tak pernah ingin merugikan siapa pun juga.
Berita tentangnya juga ramai meruyak dalam komunitas kopi. Selalu menyiratkan ajakan yang memberikan manfaat.
“Abah merestui hubungan kalian, Ce,” ungkap abah suatu hari, sesaat seusai mas Imam bertandang. Syukurlah, ini adalah sebuah dukungan yang amat kuharapkan, menghapus memoriku tentang kisah sedih Danang di masa lalu, pikirku bahagia.