***
Hatiku sudah pulih sama sekali, bersama senyum mentari dan kerdip bintang-bintang.
Terkadang di kala senggang, abah masih mencandaiku tentang ‘tragedi cintaku’ dengan Danang. Ia menyamakannya dengan kisah di bioskop ‘Beauty and the Beast’.
Aku selalu tertawa jika abah sudah berkata seperti itu, dan menggelendot manja di lengan kanan abah.
“Ah, abah. Baiklah, jika begitu, nanti setiap ada kawan pria baru Cece, akan diperkenalkan kepada abah dulu atuh. Jika setuju baru lanjut, jika tidak ya putus,” kataku merajuk.
Sejatinya, kegagalan hubunganku dengan Danang tidak membuatku patah arang. Aku tetap melanjutkan pergaulan yang wajar dengan para pemuda-pemudi di kampung kami yang damai ini.
Mungkin saja, selama ini namaku memang hanya dikenal sebagai putri abah, sebagai anak bungsu kesayangannya. Namun sejalan dengan beranjaknya usia, tampaknya beberapa pemuda mulai mengasumsikan diriku sebagai gadis yang ideal untuk dijadikan pasangan hidupnya. Mereka perlahan mendekatiku, dan mulai menanyakan kemungkinan tersebut.
Tak pelak, hal itulah memberatkan sedikit perasaanku di hari-hari ini. Kuupayakan menolak secara sopan, tanpa menyakiti hati mereka. Toh, tak ada tekanan dari pihak mana pun, karena itu tak ada masalah berarti tentang kehidupan sosialku.
Entahlah, aku tak ingin menikah dengan sekadar berlandaskan cinta. Aku tak mau mengawini cinta, melainkan: aku ingin mengawini cinta plus ilmu. Pengetahuan dan wawasan luas, yang bisa mengangkat harkat petani kopi kampung kami. Cakrawala tak berbatas yang mampu menyulap kehidupan petani agar tidak ‘begini-begini’ terus.
Salah satu obsesiku adalah membesarkan bisnis kopi, secara elegan.
Sore itu, bagai waktu yang terulang kembali. Di sebuah sore yang sejuk, kembali uwak memperkenalkanku pada Imam. Ia bekerja di bank pemerintah cabang kota Garut. Kami minum kopi bersama, hangat, mendobrak kebekuan hati-hati manusia.