Betapa pentingnya air bagi kehidupan manusia sampai-sampai orang zaman dulu seperti Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara (Bogor, Jawa Barat) berjuang keras dan bersusah payah membuatkan dua buah sungai kecil (kanal) untuk pengairan lahan bercocok-tanam dan beragam kebutuhan akan air bagi warga kerajaan kala itu.Â
Air memang menjadi kebutuhan yang sangat vital bagi kehidupan manusia. Manusia mungkin bisa bertahan hidup meski tidak makan untuk sementara waktu namun untuk bertahan hidup dengan tidak minum jelas tidak mungkin.Â
Bicara soal sumber air, saya jadi teringat sungai-sungai di daerah kami. Surabaya sebagai metropolis kedua merupakan salah satu kota di Jawa Timur yang memiliki banyak sungai besar dan kecil. Â
Beberapa diantaranya merupakan sungai yang di masa silam menjadi sarana transportasi handal. Antara lain : Kali (sungai) Mas, Kali Jagir dan Kali Banyu Urip.Â
Kali Mas membelah Kota Surabaya menjadi 2 bagian, yaitu: Westerkade Kali Mas (sebelah Barat Kalimas) dan Osterkade Kali Mas (sebelah Timur Kalimas), atau oleh masyarakat Surabaya biasa disebut daerah kulon kali dan wetan kali.Â
Daerah wetan kali merupakan daerah perdagangan, mulai dari Kembang Jepun, Pabean Cantikan, Kapasan, hingga kearah utara Jalan K.H. Mas Mansyur (Pegirian, Nyamplungan, Ampel dan lain sebagainya).Â
Yang termasuk daerah kulon kali antara lain kawasan Gresik, Kali Sosok dan di sekitar Tanjung Perak Barat.Â
Para saudagar (pedagang) dari berbagai daerah di tanah air maupun mancanegara yang akan membawa dagangannya ke berbagai kampung atau desa di Surabaya dan daerah-daerah lain di sekitarnya harus melalui Kali Mas.Â
Pendek kata, Kali Mas menjadi salah satu sarana transportasi yang sangat strategis di masa itu.Â
Pada masa kolonialisme Belanda di Surabaya, kondisi Kali Mas masih bersih, jauh dari polusi. Kapal-kapal berukuran kecil atau perahu lalu-lalang melewati Kali Mas yang waktu itu mungkin masih lebih lebar daripada keadaan sungai yang sekarang.Â
Kalau boleh dibandingkan mungkin tak berbeda jauh dari sarana transportasi sungai di Belanda atau Venesia (Italia). Â
Kali Jagir SurabayaÂ
Sebagian sungai di Surabaya umumnya berkontribusi sebagai bahan baku air kran (PDAM=Perusahaan Daerah Air Minum), tak terkecuali Kali Jagir.Â
Sayangnya seiring dengan perkembangan masyarakat kota dan arus industrialisasi, kualitas air sungai di Surabaya dikhawatirkan akan mengalami penurunan. Bahkan mungkin sudah menurun kualitasnya.Â
Sebagian warga Surabaya menjadikan Kali Jagir sebagai tempat mengail ikan. Dulu sempat tersiar kabar kalau Kali Jagir itu banyak menelan korban. Konon malapetaka itu akibat ulah siluman buaya putih (Jawa = Bajul Kroman) penunggu Kali Jagir.Â
Sempat merebak kabar pula kalau muncul orang tua sakti mandraguna yang berhasil menolong banyak korban tenggelam. Lalu sosok tua penolong orang yang tenggelam tadi dijuluki "mbah kalab".Â
Mbah kalab kini sudah tiada. Jasa beliau menolong orang yang tenggelam menjadikan namanya dikenang sepanjang masa. Kini yang mengemban tugas mulia meneruskan perjuangan beliau bernama Mbah Malang.Â
Kali Jagir mengalir menuju laut  (selat) Madura. Di Kali Jagir inilah terdapat bangunan pintu air, ya tak ubahnya Pintu Air Katulampa di Bogor atau Pintu Air Manggarai di Jakarta.Â
Sebagai sebuah bangunan bendung bernilai sejarah yang difungsikan sebagai pengendali banjir Kota Surabaya, tentu saja Pintu Air Jagir harus senantiasa dalam keadaan terpelihara.Â
Pemerintah Kota Surabaya dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mencanangkan Pintu Air Jagir sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi undang-undang sesuai Surat Keputusan (SK) Walikota Surabaya no. 188.45/004/402.1.04/1998/no. urut 54.
Pintu Air Jagir ini sudah ada saat Belanda menguasai Surabaya pada tahun 1923, bahkan jauh-jauh hari sebelum Belanda menginjakkan kaki di Surabaya, lokasi yang kini dijadikan Pintu Air Jagir itu dulunya merupakan tempat bala tentara Tar-tar menambatkan kapal-kapal perangnya sebelum menyerang Prabu Jayakatwang dari Kediri pada tahun 1293.Â
Kali Banyu UripÂ
Nama Kali Banyu Urip sering dikait-kaitkan orang dengan legenda terjadinya Kampung Banyu Urip.Â
Ceritanya begini, duluu..ketika terjadi duel antara Pangeran Situbondo dan Joko Taruno untuk memperebutkan putri seorang pembesar (adipati), dengan ajian pamungkas dan segala muslihatnya, Â pertempuran akhirnya dimenangkan oleh Raden Joko Taruno.Â
Pangeran Situbondo terluka parah dan akhirnya melarikan diri ke dalam hutan. Di sana beliau bertemu Joko Jumput, seorang pemuda lugu anak dari Mbok Rondo Praban Kinco.Â
Atas pertolongan Joko Jumput, akhirnya Pangeran Situbondo berhasil dibawa ke suatu tempat bernama Kedung Gempol.Â
Menurut cerita yang beredar, Kedung Gempol berada di kawasan yang sekarang bernama Banyu Urip Kidul Surabaya tak jauh dari gedung Puskesmas setempat. Â
Kedung Gempol dulunya merupakan sumber air. Setelah meminum air di Kedung Gempol, ajaibnya kesehatan Pangeran Situbondo berangsur-angsur pulih kembali.Â
Sang pangeran berpesan kepada Joko Jumput agar kelak tempat Kedung Gempol itu diberi nama Banyu Urip yang berarti air kehidupan, karena setelah meminum air sumber tadi Pangeran Situbondo sembuh dari luka parahnya. Â
Selama melakukan petualangan babat alas di Surabaya itu, Pangeran Situbondo yang sakti mandraguna itu bersinggungan dengan hal-hal mistis dan gaib.Â
Nama-nama kawasan di sekitar Banyu Urip yang dipercaya berkaitan dengan kisah babat alas Pangeran Situbondo, diantaranya : Kupang Krajan, Simo Katrungan, Simo Kwagean dan Simo Kalangan.Â
Ada sebuah bangunan tua warisan kolonial Belanda di kawasan Banyu Urip itu. Masyarakat di sana menamakannya Gedung Setan. Â
Dari kejauhan Gedung Setan memang tampak gahar, angker sekaligus menyeramkan. Mungkin karena hal itulah sehingga sebagian orang menyebutnya dengan Gedung Setan.
Namun ada cerita lain yang mengatakan kalau nama setan diadopsi dari nama orang Tionghoa yang menjadi pemiliknya yakni She Tan.Â
Gedung Setan sebenarnya merupakan bangunan tua yang sudah ada di zaman kolonial Belanda dan hingga kini difungsikan sebagai tempat tinggal sebagian warga Banyu Urip Wetan, khususnya yang ada di gang I A.Â
Kini Banyu Urip menjadi kawasan padat penduduk. Berkembang pesat, lengkap dengan fasilitas publik termasuk di dalamnya pasar tradisional dan modern, sekolah dan layanan kesehatan.Â
Kali Banyu Urip yang di masa lalu menjalankan fungsinya sebagai penyedia sumber air bersih bagi warga di sekitarnya, kini sebagian telah ditutup dengan box culvert di mana bagian atasnya difungsikan untuk jalan raya sebagai pengurai kemacetan lalu lintas. Â
Kali Banyu Urip mungkin sudah tidak sejernih dan sebersih di masa Pangeran Situbondo namun fungsi sebagai penampung air selokan (limbah) rumah tangga sekaligus pengendali banjir masih dijalankan.Â
Upaya pengerukan kerap dilakukan sekaligus menjadi solusi mengembalikan Kali Banyu Urip dalam kondisi normal. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H