Naik.. naik.. ke puncak gunung Â
Tinggi.. tinggi.. sekali         Â
Kiri.. kanan.. kulihat saja      Â
Banyak pohon cemara       Â
Belum sampai ke puncak Mahameru yang merupakan puncak tertinggi di Pulau Jawa, saya sudah letoy duluan he..he..he.. .Â
Itu yang saya alami ketika melakukan pendakian ke Gunung Semeru beberapa waktu lalu. Meski belum berhasil menikmati panorama Mahameru yang kabarnya sangat memesona itu setidaknya saya dan teman-teman yang tergabung dalam PHP adventure tetap bisa menikmati sisi lain dari Gunung Semeru yakni Danau Ranu Kumbolo.Â
Apa sih yang menjadi keistimewaan Danau Ranu Kumbolo sehingga menjadi magnet yang kuat bagi para pendaki dari berbagai penjuru tanah air maupun mancanegara?Â
Prasasti Ranu Kumbolo
Danau Ranu Kumbolo atau Ranu Kumbolo merupakan cerukan (danau) eksotis di lereng Gunung Semeru pada ketinggian 2400 mdpl (meter di atas permukaan laut). Danau seluas kurang lebih 14 hektar itu, kondisi alam dan sumber airnya masih terjaga dengan baik hingga saat ini.Â
Di balik pesona alam sekitar Ranu Kumbolo yang memesona terdapat sebongkah batu andesit bertuliskan Bahasa Jawa Kuno (Sanskerta) yang oleh masyarakat dinamakan Prasasti Ranu Kumbolo.Â
Umumnya para pendaki Gunung Semeru yang singgah sebentar untuk berkemah di Ranu Kumbolo mengetahui keberadaan Prasasti Ranu Kumbolo bahkan tidak sedikit dari mereka yang tertarik untuk mengambil gambar (memotret), berfoto ria dengan background prasasti atau bahkan berselfie ria dengan latar belakang Prasasti Ranu Kumbolo.Â
Namun sebenarnya belum banyak arkeolog dan sejarahwan yang tahu tak terkecuali saya tentang apa dan makna tulisan yang tergores di batu itu mengingat posisi Prasasti Ranu Kumbolo yang berada jauh di lereng Gunung Semeru dengan medan yang cukup berat.Â
Menulis tentang misteri kepurbakalaan yang belum terungkap mengingatkan saya akan sosok arkeolog sejati yang juga kompasianer handal yakni Pak Djulianto Susantio, Wuri Handoko dan kalau di Jawa Timur kita juga mengenal Mas Teguh Hariawan, Mbah Ukik dan Ikrom Zain yang meski bukan arkeolog namun ketertarikannya pada dunia kepurbakalaan boleh dibilang setara dengan ahlinya.Â
Mereka tak jarang membuat catatan tentang situs-situs purbakala yang mereka datangi.Â
Saya sendiri sebenarnya bukan seorang arkeolog yang memiliki ilmu pengetahuan dan keahlian khusus di bidang kepurbakalaan namun karena alasan suka dan dilandasi ajian Bondo Nekad (bonek) maka jadilah saya arkeolog gadungan he..he..he.. Â
Makanya untuk keperluan ini saya mencoba menyolek beberapa kawan kompasianer yang memang memiliki ilmu, keahlian atau pengetahuan memadai tentang dunia kepurbakalaan.Â
Siapa tahu kawan-kawan tadi pernah melakukan riset atau penjelajahan ke Ranu Kumbolo dan melihat langsung Prasasti Ranu Kumbolo itu atau setidaknya ikut memberikan saran serta masukan seputar prasasti itu.Â
Menurut beberapa sumber media online, kalimat berbahasa Jawa Kuno tadi bermakna "perjalanan spiritual yang dilakukan Kameswara dalam mencari air suci". Coba kita kupas kata demi kata kalimat Ling Deva pu Kameswara tirthayatra ini.Â
Pendapat para ahli tentang tulisan prasasti
Menurut sebagian arkeolog, kata Kameswara merujuk (ditafsirkan) pada nama raja Kerajaan Kadiri yang bergelar Sri Maharaja Sri Kameswara Triwikramawatara Aniwariwirya Anindhita Digjaya Uttunggadewa.Â
Sri Kameswara adalah raja ketujuh dari Kerajaan Kediri, hal ini tercantum dalam Prasasti Ceker tahun 1182 masehi serta Prasasti Kakawin Smaradhana. Masa pemerintahan raja Sri Kameswara sekitar tahun 1180 masehi - 1190 masehi.Â
Gunung Semeru dipercaya sebagai gunung suci di mana pada puncaknya yang disebut Mahameru itu merupakan tempat bersemayam para dewa. Gunung Semeru kesuciannya disamakan dengan Gunung Himalaya di India.Â
Kala itu, Kameswara melakukan pendakian ke Gunung Semeru melalui jalur pendakian kuno dari Desa Pasrujambe (Lumajang, Jatim) dan bukan seperti para pendaki zaman sekarang yang melakukan pendakian melalui posko Desa Ranu Pane.Â
Seorang arkeolog dari Universitas Negeri Malang (dulu bernama IKIP Negeri Malang) bernama Dwi Cahyono, pada tahun 2011 pernah melakukan penelitian di daerah Pasrujambe.Â
Ternyata benar bahwa daerah Pasrujambe memang menyimpan banyak serpihan benda-benda kuno, seperti menhir (batu tegak), batu tulis (prasasti), maupun peralatan sehari-hari masyarakat pada zaman kuno.Â
Sang arkeolog juga menemukan beberapa batu tulis yang bercerita tentang perjalanan suci yang dilakukan oleh raja atau rohaniawan dari Kerajaan Blambangan (sekarang Banyuwangi) menuju Gunung Semeru.Â
Di salah satu permukaan batu prasasti itu tertulis Rabut Macan Petak. Ini merupakan nama Kerajaan Macan Putih yang berada di Banyuwangi saat ini. Kala itu, Kabupaten Lumajang sudah berkembang menjadi area tujuan tirthayatra.Â
Tentu saja apa yang dilakukan Kameswara bukan sekadar pendakian biasa namun perjalanan spiritual mendekatkan diri (samadi tapa brata) kepada Sang Hyang Widhi.Â
Boleh jadi tujuan utama beliau sebenarnya ke puncak Mahameru yang diyakini sebagai tempat bersemayam para dewa namun singgah (satre) sejenak di Ranu Kumbolo untuk melakukan berbagai ritual tertentu sekaligus mencari air suci serta menggoreskan jejak perjalanan spiritualnya pada sebongkah batu andesit yang kemudian kita kenal dengan nama Prasasti Ranu Kumbolo itu.Â
Selain Ranu Kumbolo, bagian lain dari Semeru yakni Archapada diperkirakan dulunya pernah menjadi tempat singgah Kameswara sebelum melakukan perjalanan suci menuju puncak Mahameru.Â
Itu terlihat dari bukti ditemukannya pepunden berundak dan beberapa arca sebagai sarana memohon keselamatan dari Sang Hyang Widhi.Â
Belum begitu jelas apakah prasasti dibuat dengan tangannya sendiri atau orang lain yang menjadi pengikutnya saat beliau melakukan ritual tirthayatra tersebut.Â
Menurut sejarawan Sukarto Atmojo, kalimat "Ling Deva Pu Kameswara Tirthayatra" dapat diartikan bahwa ketika itu Raja Kameswara pernah melakukan kunjungan suci dengan mendaki Gunung Semeru. Menurut sang sejarahwan, angka tahun prasasti berkisar pada 1182 masehi.Â
Sementara menurut penafsiran Dwi Cahyono, kata deva pu menunjukkan kalau Kameswara ketika melakukan ritual tirthayatra sudah bukan seorang raja Kerajaan Kadiri lagi dan menghabiskan sisa hidupnya untuk mendekatkan diri pada Hyang Widhi karena deva pu berarti rohaniawan.Â
Sedangkan gelar raja biasanya menggunakan kata shri (sri). Menyimpulkan Prasasti Ranu Kumbolo merupakan tinggalan Raja Kameswara dari Kerajaan Kadiri, menurut Dwi Cahyono dianggap terlalu dini mengingat jenis huruf Jawa Kuno yang tertulis di Prasasti Ranu Kumbolo ada kemiripan dengan prasasti-prasasti lain yang ditemukan di Semeru bagian selatan, mulai Ampelgading (Malang) hingga Senduro (Lumajang).Â
Huruf-huruf atau aksara Jawa Kuno yang ditemukan di sebelah selatan Gunung Semeru itu dibuat pada masa kejayaan hingga menjelang runtuhnya Kerajaan Majapahit.Â
Perjalanan spiritual di masa Kerajaan Majapahit juga seringkali dilakukan para rohaniawan atau raja. Sebagai contoh, Raja Hayam Wuruk melakukan ritual tirthayatra di wilayah kekuasaannya.Â
Perjalanan spiritual Raja Hayam Wuruk mencari air suci ke Sumber Wendit, Sumber Awan, dan Telaga Biru yang berada di wilayah Malang telah ditulis oleh Mpu Prapanca dalam kitabnya Negara Kertagama.Â
Suatu sikap agung yang kemudian diperkuat dengan tinggalan berupa prasasti atau jejak purbakala lainnya (arca, pepunden berundak, menhir dan sebagainya) untuk mengenang misi perjalanan spiritual beliau.Â
Prasasti yang mereka tinggalkan telah menjadi warisan purbakala yang sangat berarti bagi generasi sekarang dan yang akan datang terutama untuk menguak keadaan di masa itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H