Terjadinya pandemi Covid-19 tak hanya menelan korban jiwa yang begitu banyak melainkan juga meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan manusia di muka bumi ini. Negara kita ikut terkena dampaknya, beragam sektor menjadi lumpuh. Sektor pendidikan, pariwisata, dan pastinya kehidupan ekonomi bangsa kita. Â
Sampai-sampai proses renovasi bangunan cagar budaya seperti Candi Dermo yang terletak di Desa Candinegoro, Wonoayu, Sidoarjo sempat terhenti sejenak akibat pandemi Covid-19. Namun segala daya upaya tetap harus dilakukan sehingga pada Desember 2020 lalu proses renovasi candi pun dinyatakan tuntas. Â
Setelah proses renovasi selesai, Candi Dermo tampak begitu menarik. Selain keberadaan pos pendataan yang lebih dulu dibangun, bangunan candi kini juga dilengkapi toilet untuk para pengunjung. Taman di sekeliling candi juga tertata rapi dan lebih sedap dipandang mata.Â
Persis di sebelah lokasi candi bisa kita temukan musholla dan beberapa puluh meter keluar lokasi candi (di seberang sungai) terdapat banyak lapak pedagang kuliner. Bagi Anda semua yang berminat mengunjungi Candi Dermo tidak dikenakan biaya tiket masuk alias gratis. Â
Mengamati proses renovasi candi dari waktu ke waktu
Tahun 2012, tepatnya 6 September 2012 untuk pertama kalinya saya mengunjungi Candi Dermo. Kondisi candi tinggalan Kerajaan Majapahit itu terlihat cukup memprihatinkan.Â
Beberapa bagian telah rusak (lapuk/keropos) karena ditelan sang zaman. Atau mungkin rusaknya sebagai akibat ulah manusia yang tak bertanggung jawab (vandalisme).
Selang tiga tahun kemudian, tepatnya tanggal 3 Januari 2017 kembali saya mendatangi Candi Dermo. Candi yang terletak di tengah-tengah pemukiman warga Desa Candinegoro itu sepertinya sudah mulai direnovasi lagi. Itu bisa dilihat dari terpasangnya tiang-tiang kayu di sekeliling bangunan candi. Sayangnya saat itu saya tidak melihat secara langsung aktivitas pekerja candi.Â
Akhir tahun 2017, tepatnya tanggal 29 Desember 2017 saya datang lagi ke Candi Dermo namun masih belum terlihat aktivitas sebagai upaya renovasi lanjutan pada periode sebelumnya.
Kunjungan saya ke Candi Dermo pada tanggal 10 Mei 2018 merupakan momen yang sangat berharga pasalnya untuk kunjungan kali ini saya berkesempatan melihat langsung aktivitas perbaikan candi. Selain itu saya bisa bertemu muka dengan juru pelihara (jupel) candi yaitu Pak Hadi. Â
Candi Dermo sudah berulang kali mengalami perbaikan setelah renovasi pertama yang dilakukan oleh pemerintah Belanda pada kurun waktu 1905 sampai 1915.Â
Pemerintah Belanda kala itu sempat melakukan renovasi dengan mengecor bagian belakang pintu Candi Dermo. Meski terlihat kurang menarik namun pengecoran itu bertujuan menyelamatkan bangunan candi dari keruntuhan.
"Setelah sekian lama terabaikan, baru pada tahun 2015 renovasi dimulai lagi," terang Hadi sapaan akrab Hadi Ismawanto usai mengecek hasil pekerjaan tukang candi.
Pria kelahiran 35 tahun silam itu mengatakan kalau dana yang diturunkan untuk perbaikan Candi Dermo tidak seketika itu turun sekaligus melainkan secara bertahap. Â
"Proses renovasi candi sempat terkendala dan libur 4 bulan selama terjadinya pandemi Covid-19 tahun 2020 yang baru lalu," lanjut Hadi. Â
Menurut bapak dua anak itu, bantuan yang diturunkan tidak hanya berupa uang namun juga dalam bentuk bahan (material) bangunan. Dana renovasi candi berasal dari Kementerian (dinas) Kebudayaan dan Pariwisata pusat dan bukan dari Pemerintah Daerah Sidoarjo.
Proses pemasangan batu bata Candi Dermo
Pekerjaan merenovasi candi ternyata tidak semudah mendirikan atau merenovasi bangunan modern. Menurut Hadi, untuk keperluan tenaga kerja (tukang) sengaja diambil dari warga Desa Candinegoro dan sekitarnya yang memang sudah memiliki keahlian khusus yakni keahlian dalam bidang konstruksi bangunan.Â
Namun soal teknis pengerjaan renovasi candi, para tukang tadi masih tetap mendapatkan bimbingan dan pengarahan para ahli dari Balai Pelestarian Bangunan Cagar Budaya (BPCB) Trowulan Mojokerto, sebuah lembaga yang selama ini berkecimpung dalam upaya pelestarian situs-situs (candi) bersejarah di Jawa Timur.Â
Biasanya batu bata dipesan dari daerah Trowulan, Mojokerto yang selama ini dikenal sebagai sentra penghasil batu bata. Karena pemasok bata di Trowulan sudah menyatakan diri tidak sanggup maka dipesanlah batu bata baru itu dari kawasan Magetan.
"Permukaan batu bata dihaluskan dulu dengan digosok-gosok, nanti kalau mau dipasang di atas digosok lagi," terang Pak Matroji, pekerja yang khusus ditugasi menggosok batu bata.
Sebelum dipasangkan ke bagian candi yang rusak, permukaan batu bata harus halus. Pak Matroji lalu menggosok-gosokkan bata itu ke batu ungkal yang berfungsi seperti rempelas (kertas gosok, red). Sambil diguyuri air, bata tadi berulang kali digesek-gesekkan ke batu ungkal sampai semua permukaan batu bata menjadi halus sempurna. Â
"Pekerjaan yang saya lakukan ini tentu membutuhkan ketelatenan sebab jika tergesa-gesa hasilnya jelek dan enggak pas" lanjut Pak Matroji sambil mengusap keringat yang membasahi mukanya. Â
Pemasangan batu bata mengikuti bentuk (model) candi aslinya. Semua sudah dikonsultasikan dengan para ahli BPCB Trowulan. Batu bata dipasang dengan sistem gosok. Seminimal mungkin menggunakan cairan semen, itupun bila dinilai sangat perlu untuk memudahkan pengerjaan.
Batu bata yang didatangkan haruslah batu bata berkualitas sangat bagus dan terpilih sesuai standar yang ditetapkan oleh para ahli BPCB Trowulan.
Batu bata yang dipesan diperoleh dari sistem pembakaran yang sempurna agar dihasilkan batu bata yang bukan saja berpenampilan bagus tapi juga tidak mudah pecah. Bila dipasangkan ke bagian candi yang rusak maka bangunan candi hasil renovasi tadi menjadi tahan lama. Â
Tinjauan arkeologi Candi Dermo
Candi Dermo diperkirakan dibangun pada masa Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Seperti candi-candi warisan Kerajaan Majapahit lainnya, Candi Dermo dibuat dari batu bata merah. Khusus pada bagian trap tangga masuk dan tepat di atas lubang pintu masuk candi, batu penyusunnya terbuat dari batu andesit (batu sungai/gunung).Â
Mungkin arsitek Majapahit kala itu sengaja mendesain bagian tersebut agar kokoh dalam menopang susunan batu bata merah yang berada di bagian atas lubang pintu masuk candi. Â
"Setelah direnovasi, tinggi candi kini menjadi 15 meter yang sebelumnya hanya 13,2 meter sedangkan sayap candi panjangnya 1,7 meter," terang Hadi. Â
Berdasarkan catatan sejarah, informasi mengenai Candi Dermo yang pertama dapat dilihat dari laporan tertulis pemerintah Belanda. Catatan itu ditulis pada tahun 1905 - 1913 dan 1914 - 1915. Â
Candi Dermo sebenarnya merupakan gapura yang berbentuk paduraksa. Menurut ilmu kepurbakalaan (arkeologi), paduraksa berarti candi yang berbentuk gapura, di mana bagian atapnya menjadi satu (terhubung). Â
Pembagian gapura candi di dalam arkeologi ada dua yakni terpisah (terbelah sempurna) dan tak terpisah. Untuk gapura yang atapnya terpisah akan terlihat sebangun (simetri) yang membatasi sisi kiri dan kanan pintu masuk.Â
Bentuk candi yang demikian dinamakan candi bentar atau gapura belah. Contoh candi bentar ialah Candi Wringin Lawang yang merupakan warisan Kerajaan Majapahit di Trowulan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI