Sebagian orang mungkin saja menganggap sejarah (history bukan his story) dan belajar sejarah menjadi konsumsi anak-anak sekolah (pelajar) dan kalangan tertentu seperti mahasiswa, peneliti (arkeolog) juga penikmat sejarah saja karena dianggap kuno, hanya bercerita tentang masa lalu.
Belajar Sejarah agar bijaksana Â
Sejatinya tidak sesederhana itu. Sejarah dan belajar sejarah memang tak lepas dari mengingat peristiwa dari masa ke masa (tempat, tanggal dan tahun kejadian) namun lebih dari itu dengan belajar sejarah memungkinkan seseorang (generasi) menjadi bijaksana.
Pernyataan itu bukan sekedar bualan (omong kosong) karena telah dibuktikan sendiri oleh Bung Karno selaku salah satu pendiri bangsa ini dan para tokoh bangsa sesudah kepemimpinan beliau.
Saat berpidato ilmiah dalam rangka pengukuhan beliau sebagai doktor honoris causa ilmu sejarah di lingkungan Universitas Pajajaran Bandung pada 23 Desember 1964, Â dengan menukil pendapat Sir John Seeley (The Expansion of England) Bung Karno mengatakan bahwa "kita harus mempelajari sejarah, agar supaya kita bijaksana lebih dahulu, agar supaya kita tahu ke mana kita harus berjalan. Orang yang tidak mempelajari sejarah atau mengambil pelajaran dari sejarah sebetulnya orang yang tidak bijaksana. Orang yang tidak mengetahui sejarah, orang demikian itu tidak mengetahui tujuan".
Para tokoh bangsa kita dewasa ini pun bisa saja mengambil pelajaran dari sejarah masa silam dalam rangka mengambil kebijakan untuk Indonesia yang lebih baik. Bukan untuk meninabobokan bangsa dan negara dengan beragam dongeng atau bahkan membawanya ke masa lalu namun lebih kepada belajar pada kasus mengapa peristiwa sejarah itu bisa terjadi lalu bagaimana penyelesaian (konflik) dan langkah-langkah antisipatifnya.
Sejarah kejayaan kerajaan-kerajaan besar di Indonesia pada masa lampau diharapkan bisa menjadi kaca benggala (inspirasi) pembangunan Indonesia ke depan yang lebih baik. Â
Nilai-nilai dari kebesaran Kerajaan Majapahit misalnya, menjadi satu kekuatan sejarah Indonesia yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh komponen bangsa untuk menghadapi tantangan masa depan agar Indonesia tercinta ini menjadi bangsa yang lebih maju.
Perlu dibangun lagi waduk (bozem)
 Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta dan Pulau Jawa pada umumnya sudah dianggap sebagai kampung raksasa yang gemerlap nan super modern namun telanjur memiliki beban yang terlalu berat. Salah satu alasannya karena bencana banjir kerap melanda wilayah Jakarta.
Banjir dinilai sebagai penyakit kronis yang nyaris tak bisa disembuhkan, wilayah Jakarta sendiri secara geografis berhadapan dengan permukaan laut yang lebih tinggi daripada permukaan air sungai.
Pemprov DKI Jakarta selama ini telah berupaya keras mengatasi bencana banjir antara lain dengan membangun bendungan-bendungan di daerah hulu, tanggul pantai dan sumur resapan (drainase vertikal) serta berbagai upaya lainnya.
Pembangunan bendungan hulu bertujuan agar sebelum memasuki Jakarta, terjangan air (banjir) sudah bisa dikontrol. Jakarta sering dilanda banjir rob karena air laut naik ke daratan karena itu perlu dibangun tanggul pantai di kawasan pesisir.
Selain bendungan hulu dan tanggul pantai, pemprov DKI juga mengembangkan program sumur resapan (drainase vertikal) yang bertujuan memasukkan air hujan ke dalam tanah yang selanjutnya meresap lalu mengalir ke sungai. Manfaat lain dengan adanya sumur resapan ialah sebagai cadangan (reservoir / tandon) air bersih bagi warga sekitarnya.
Mungkin saja bendungan hulu, waduk (bozem), tanggul pantai, sumur resapan, pompa air berukuran raksasa dan pintu air yang selama ini sudah dikembangkan oleh pemprov DKI Jakarta belum mengcover titik-titik rawan banjir yang bisa saja semakin bertambah setiap tahunnya.
Luas wilayah Jakarta 662,3 kilometer persegi dengan curah hujan (intensitas dan jumlahnya) yang cukup  fluktuatif di setiap tahunnya. Sehingga  pembangunan danau buatan (waduk / bozem) perlu ditingkatkan jumlahnya agar sebanding dengan jumlah titik rawan banjir.
Â
Belajar dari Kolam Segaran  Â
Dinukil dari faktualnews.co bahwa teknologi irigasi, drainase dan pengelolaan air (banjir) lainnya sudah ada sejak lama. Pada era kejayaan Kerajaan Majapahit teknologi mengatasi banjir juga sudah dikenalkan mengingat daerah Majapahit termasuk yang rawan banjir.
Selain membangun banyak waduk, para arsitek Majapahit kala itu juga membangun sebuah kolam berukuran sangat besar yang hingga kini masih bisa kita saksikan keberadaannya. Oleh masyarakat sekitarnya kolam raksasa itu dinamakan Kolam Segaran.
Untuk diketahui, di antara para ahli terdapat perbedaan pandangan seputar Kolam Segaran ini. Sebagian ahli kitab kuno (filolog) dan arkeolog mengatakan kalau Kolam Segaran ini dulunya merupakan telaga (danau) seperti yang disebutkan dalam Kitab Negarakertagama pupuh 8:5. Â
Ada juga yang mengatakan kalau Kolam Segaran merupakan tempat membuang peralatan jamuan (piring, sendok, garpu dan lainnya) yang terbuat dari emas dan perak.
Cerdiknya lagi, para arsitek Majapahit kala itu menempatkan jaring di bagian dasar kolam agar peralatan jamuan para tamu asing bisa diambil lagi untuk keperluan berikutnya.
Sebuah muslihat yang menggambarkan betapa Majapahit merupakan  kerajaan yang makmur dan kaya raya. Anehnya, ketika dilakukan penggalian ternyata tidak ditemukan secuilpun logam mulia apakah itu emas, perak atau bahkan perunggu.
Sementara ahli lain mengatakan kalau Kolam Segaran merupakan tempat ritual yang disucikan, konon ada pulau kecil di tengah kolam itu. Air Kolam Segaran juga dimanfaatkan warga Majapahit untuk cadangan saat sumur mereka mengering di musim kemarau.
Kisah mengenai Kolam Segaran justru tidak pernah disebutkan dalam Kitab Negarakertagama karena dibangun sesudah ditulisnya Kitab Negarakertagama oleh Empu Prapanca, menjelang runtuhnya Kerajaan Majapahit.
Cara berpikir para arsitek Majapahit dalam menempatkan Kolam Segaran di tengah permukiman warga Majapahit kini banyak ditiru oleh masyarakat modern. Sebagian developer (pengembang) perumahan mewah (elit) tak jarang menyediakan danau buatan di tengah kompleks perumahan yang dibangunnya agar kawasan terlihat lebih eksotis dan sedap dipandang mata.
Selain itu berfungsi sebagai AC alami karena udara sekitarnya akan terasa lebih segar. Danau buatan juga berfungsi sebagai fasilitas rekreasi meriah (tempat memancing) bagi warga perumahan dan fungsi yang tak kalah pentingnya ialah sebagai penampung air hujan.
Kolam segaran merupakan salah satu dari sekian banyak jejak kebesaran  Kerajaan Majapahit yang hingga sekarang masih terawat dengan sangat baik.
Tinggalan arkeologi itu ditemukan untuk pertama kalinya pada tahun 1926 oleh Henry Maclaint Pont berkebangsaan Belanda. Pemugaran pertama dilakukan pada tahun 1966, pada tahun 1974 pemugaran dilaksanakan secara terencana dan  menyeluruh, yang memakan waktu sepuluh tahun.
Kolam Segaran bukanlah kolam biasa yang sering kita saksikan dalam keseharian itu. Untuk ukuran dan konstruksi sebuah kolam kala itu, Kolam Segaran termasuk yang cukup fantastis.
Kolam Segaran berbentuk persegi, dikelilingi tembok yang terbuat dari susunan batu bata merah dengan panjang 375 meter, lebar 175 meter (luasnya = 65.625 meter persegi atau 6,5 hektar). Tebal dinding 1,6 meter dengan kedalaman kolam 2,88 meter.
Kabarnya, kolam ini merupakan satu-satunya bangunan kolam kuno terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia.
Kata "segaran" dalam Kolam Segaran berasal dari Bahasa Jawa segara (baca segoro) yang berarti samudra atau lautan. Mungkin karena ukurannya yang sangat luas bak samudra itu sehingga masyarakat setempat menyebut kolam raksasa itu sebagai Kolam Segaran.
Pasokan air kolam berasal dari Sumber Balong Bunder dan Balong Dowo yang berada di sebelah selatan dan barat daya kolam. Pintu masuknya terletak di sebelah barat, berupa tangga batu bata kuno. Selain dari dua sumber tadi, air dalam Kolam Segaran juga berasal dari air hujan.
Kolam segaran ini pada masa Kerajaan Majapahit berfungsi sebagai waduk (penampung air) sekaligus pengendali banjir yang merupakan wujud kecanggihan Kerajaan Majapahit dalam teknologi bangunan perairan.
Keistimewaan Kolam Segaran Â
Namun ada juga yang mengatakan kalau satu bata dengan bata lain direkatkan dengan semen purba yang berasal dari getah tumbuhan merambat. Belum begitu jelas apa nama tumbuhan itu.
Kalau konstruksi bangunan bendung (bendungan) atau waduk masa kini begitu kokohnya karena susunan batu bata satu dengan batu bata lainnya  direkatkan dengan semen atau langsung dicor dengan adonan berupa campuran pasir, koral dan semen dengan perbandingan tertentu namun masih bisa ngrembes (bocor halus) atau bahkan ambrol diterjang air.
Maka berbeda dengan Kolam Segaran yang terdapat di Trowulan, Mojokerto-Jawa Timur itu. Tanpa perekat dari semenpun konstruksi kolam tetap kokoh dan bertahan hingga sekarang padahal usianya sudah lebih dari 700 tahun.
Hebatnya lagi meski tanpa bahan perekat, air yang ada di dalam kolam tidak ngrembes keluar sehingga pada saat musim hujan atau kemarau panjang sekalipun volume air relatif tidak berkurang.
Masalah banjir di DKI Jakarta dan berbagai pelosok tanah air memang sangat pelik dan krusial. Kalau masyarakat dulu berhasil mengelola banjir dengan menggunakan teknologi hidrologi ala Majapahit, kitapun sebagai masyarakat yang sudah modern pastinya harus lebih piawai lagi dalam mengelola banjir. Tak ada salahnya kita belajar dari kearifan teknologi Kolam Segaran Majapahit.
Selain berfungsi sebagai objek penelitian arkeologi dan tujuan  wisata sejarah, para pengunjung bisa memanfaatkan Kolam Segaran sebagai tempat memancing ikan.
Kolam Segaran juga berfungsi sebagai penampung air hujan. Air yang terkumpul di kolam kemudian dimanfaatkan untuk irigasi bagi areal persawahan di sekitarnya.
Waduk atau bendungan yang dibangun sebagai pengendali banjir di Jakarta diharapkan juga akan memberikan manfaat lain seperti sebagai sarana rekreasi, sarana irigasi areal pertanian di sekitarnya atau sebagai tujuan wisata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H