Tradisi mudik bukan semakin memudar malah jumlah pemudik semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia. Â
Untuk mengantisipasi meningkatnya jumlah pemudik, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berpartisipasi dengan menggulirkan program mudik gratis. Seperti dilansir merdeka.com, tak tanggung-tanggung untuk tahun ini dana yang digelontorkan mencapai 34 miliar. Jumlah ini mengalami kenaikan yang pada tahun sebelumnya mencapai 27 miliar. Â
Jumlah kuota pemudik gratis juga mengalami kenaikan sebesar 18 persen yang tahun lalu berjumlah 44.000 orang, tahun ini kuotanya meningkat menjadi 54.000 orang. Kota tujuan pemudik gratis juga mengalami peningkatan, mencakup beberapa kota besar di Sumatera antara lain Lampung, Padang dan Palembang. Pada tahun ini mencapai 40 kota, sementara tahun sebelumnya hanya 32 kota. Â
Selain Kemenhub, program mudik gratis juga dijalankan oleh swasta dan Kementerian BUMN. Perusahaan jamu kenamaan di Jawa Tengah juga memberangkatkan puluhan ribu pemudik gratis. Â
Sebanyak 104 BUMN telah memberangkatkan sekitar 250 ribu pemudik gratis yang tersebar ke 46 kota di luar Jawa dan 36 kota di Jawa. Untuk program mudik gratis ini, Kementerian BUMN mengeluarkan anggaran sebanyak 100 miliar rupiah.
Pengalaman yang tidak menyenangkan sebagai pemudik Â
Kami termasuk orang yang belum pernah merasakan betapa nikmatnya menjadi pemudik gratis. Apalagi pada tahun 2019 ini, kabarnya nih para peserta mudik bareng nan gratis itu mendapat fasilitas tambahan berupa uang saku sebesar 400 ribu rupiah perorang. Â
Selama ini kami mudik dengan biaya sendiri alias swadaya murni. Moda transportasi yang kami gunakan berupa kereta api dan bus, jadi bukan kendaraan pribadi. Â
Perjalanan mudik (pulang kampung) dengan menggunakan kereta api (KA) relatif tak mengalami kendala berarti bahkan terasa nyaman meski duduk di bangku kelas ekonomi namun ruangan gerbong tetap ber-AC lengkap dengan toilet yang cukup bersih dan pastinya sudah nggak pesing lagi.
Perjalanan pulang kampung dengan menggunakan alat transportasi berupa bus juga pernah kami lakukan. Saat berangkat dari Surabaya menuju kediaman istri di Jawa Tengah perjalanan relatif lancar mengingat rumah kami berada tidak jauh dari pangkalan (pool) bus sehingga armada bus tersedia dalam jumlah yang cukup. Â
Perjalanapun terasa semakin nyaman karena bus dilengkapi fasilitas WiFi, AC, TV (DVD), air mineral, snack dan makan di restoran. Pak sopirpun mengendarai bus dengan cukup kencang namun tetap penuh kewaspadaan (hati-hati). Sehingga kami cepat sampai ke kampung halaman istri.
Saat pulang kembali ke Surabaya, cobaan mulai datang he..he.. . Kami coba menghubungi beberapa PO. bus namun petugas di sana menyatakan bahwa semua tempat duduk sudah habis. Â
Akhirnya kami berinisiatif naik bus sekenanya, pikir kami masak iya nggak dapat tumpangan. Dari kediaman mertua di Jateng tidak serta merta langsung dapat tumpangan bus jurusan Surabaya melainkan semua bus hanya berhenti sampai Jogyakarta. Kami masih harus oper lagi dengan bus lain agar bisa segera sampai ke Surabaya.
Aduh..biyung, setelah sampai di salah satu terminal yang ada di kota gudeg itu terlihat terminal sudah penuh sesak dengan calon penumpang yang menunggu bus. Malam semakin larut dan udara dingin mulai menusuk tubuh kami, dinginnya begitu terasa hingga ke tulang. Beberapa jam kami mondar-mandir dalam terminal, berebut dan bersaing dengan calon penumpang lain yang juga menunggu datangnya bus jurusan Surabaya. Â
Kami harus melekan di terminal. Putri semata wayang dan salah satu keponakan kami menjadi nggak enak badan, masuk angin bahkan muntah-muntah gegara semalaman begadang di terminal. Â
Lewat tengah malam kami masih harus bersaing dengan penumpang lain. Setiap bus yang hendak memasuki gerbang terminal dan terdengar suara ayo boyo..boyo..(maksudnya ini bus jurusan Surabaya, red) dari sang kenek (kondektur) langsung saja kami buru dan kamipun berlarian ke arah pintu bus. Â
Kadang kami harus saling sikut dengan calon penumpang lain agar bisa memasuki pintu. Untung saja, anak, istri dan para keponakan tidak ada yang tertinggal. Sejak menunggu di terminal saya sudah wanti-wanti kepada mereka agar sigap, tas ransel di punggung jangan sampai terlepas serta bergandengan tangan yang kuat.
Dini hari akhirnya kami baru mendapatkan bus tumpangan setelah beberapa jam berjuang mengalahkan calon penumpang lain. Hingga keringat mengucur deras membasahi tubuh kami.
Namun bus kali ini sama sekali di luar prediksi. Kami harus rela diangkut bus yang sudah penuh sesak oleh penumpang, kami hanya bisa berdiri, itupun masih harus berdesak-desakan. Kondisi bus juga ala kadarnya bukan seperti bus pertama saat kami berangkat. Â
Bukan AC yang menyegarkan melainkan AB (angin brobos he..he..). Sesekali bau asap knalpot ikut terbawa angin yang mbrobos (menerobos) ke dalam ruangan bus. Belum lagi bau keringat para penumpang lain yang nggak keruan semakin membuat suasana dalam bus terasa kurang nyaman. Â
Kami berdiri cukup lama dalam bus, begitu ada penumpang turun dan kursinya kosong langsung saja kami serobot, kasihan putri dan para keponakan kami. Akhirnya petualangan kecilpun berakhir di kawasan Ngawi, setelah para penumpang bus berangsur-angsur turun. Kami baru bisa duduk dengan lega sambil melepas rasa lelah.
Kangen dengan makanan khas desa  Â
Kejadian tak menyenangkan saat tengah malam bertualang dalam terminal ketika pulang mudik tak lantas menyebabkan kami kapok untuk mudik. Â
Pekarangan rumah mertua yang cukup luas, terasa meneduhkan karena penuh dengan pohon kelapa dan pohon buah-buahan lainnya tentu menimbulkan rasa kangen tersendiri. Apalagi ketika pohon buah-buahan tadi sedang berbuah dan bisa dinikmati.
Belum lagi makanan tradisional khas kampung halaman yang diolah dalam dapur unik ala pedesaan tentu menghasilkan cita rasa tersendiri. Semua itu akan menciptakan rasa rindu yang mendalam untuk kembali mudik ke kampung halaman tercinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H