Mohon tunggu...
Mawan Sidarta S.P.
Mawan Sidarta S.P. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lifelong learner, Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan.

Lulusan S1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Pernah bekerja di perusahaan eksploitasi kayu hutan (logging operation) di Sampit (Kalimantan Tengah) dan Jakarta, Projek Asian Development Bank (ADB) pendampingan petani karet di Kuala Kurun (Kalimantan Tengah), PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) Surabaya. Sekarang berwirausaha kecil-kecilan di rumah. E-mail : mawansidarta@yahoo.co.id atau mawansidarta01@gmail.com https://www.youtube.com/channel/UCW6t_nUm2OIfGuP8dfGDIAg https://www.instagram.com/mawansidarta https://www.facebook.com/mawan.sidarta https://twitter.com/MawanSidarta1

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menziarahi Pusara Sunan Boto Putih di Surabaya

26 Agustus 2018   23:01 Diperbarui: 26 Agustus 2018   23:09 2860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama ini saya atau mungkin sebagian warga Surabaya lainnya mengira kalau pejuang Islam atau waliyullah di daerah Surabaya itu hanyalah Sunan Ampel. 

Jadi setiap kali menziarahi pusara kompleks Sunan Ampel melalui Jalan Sasak lewat Gang Ampel Suci, pikiran saya hanya tertuju di kawasan itu. 

Belakangan saya baru tahu kalau di dekat kompleks pusara Sunan Ampel itu juga terdapat kompleks makam tua nan bersejarah lainnya dan itu saya jumpai ketika mengunjungi kawasan wisata religi Ampel dari jalan masuk lainnya, dalam hal ini melalui Jalan KH. Mas Mansyur (Gang Ampel Maghfur) yang berseberangan dengan Jalan Pegirian di mana kompleks makam tua yang saya maksud berada.

Gapura masuk kompleks makam Pangeran Lanang Dangiran (dok.pri)
Gapura masuk kompleks makam Pangeran Lanang Dangiran (dok.pri)
Di dalam kompleks pekuburan tua di kawasan Jalan Pegirian Surabaya itu kita temukan banyak batu nisan pejuang Islam / bangsawan / adipati salah satunya makam milik Kyai Ageng Brondong atau Pangeran Lanang Dangiran atau yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Boto Putih karena memang pusara beliau berada di kawasan Boto Putih, Pegirian Surabaya.

Sebelum masuk ke dalam kompleks makam, persis di sebelah kanan gerbang masuk terlihat langgar wakaf yang megah dengan arsitektur yang menarik. Langgar berukuran besar layaknya masjid itu berwarna coklat tua kemerahan dan bisa menjadi penanda kalau di situlah kompleks pusara para leluhur atau adipati surabaya berada. 

Gerbang masuk makam bertuliskan Pesarean Agung Sentono Boto Putih (pesarean = peristirahatan terakhir, agung = megah, sentono = tempat, boto putih = batu bata berwarna putih) juga berwarna coklat tua kemerahan. 

Pusara Sultan Banten terakhir yang disemayamkan di makam Boto Putih (dok.pri)
Pusara Sultan Banten terakhir yang disemayamkan di makam Boto Putih (dok.pri)
Setelah melangkahkan kaki sejauh dua atau tiga puluh langkah di jalan yang berpaving rapi dari gerbang utama, kita memasuki gerbang (gapura) yang lebih kecil dicat berwarna abu-abu tua di bagian atasnya bertuliskan Kyai Ageng Brondong Sunan Boto Putih. 

Pada salah satu sisi tembok gerbang kecil itu dipasang plat penanda kalau kompleks pusara itu masuk dalam daftar bangunan cagar budaya Kota Surabaya bersama ratusan bangunan cagar budaya lainnya.

Plat prasasti cagar budaya dari pemkot Surabaya (dok.pri)
Plat prasasti cagar budaya dari pemkot Surabaya (dok.pri)
Pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (disbudpar) menetapkan kompleks Makam Boto Putih yang merupakan pekuburan para leluhur / adipati Surabaya sebagai bangunan cagar budaya sesuai surat keputusan  walikota nomer 188.45/251/402.1.04/1996/51 tertanggal 26 September 1996.

Kompleks makam bersejarah Boto Putih di Jalan Pegirian 176 Surabaya terbagi menjadi 2 kelompok. Makam-makam yang ditempatkan di bagian depan dinamakan kanoman (anom = muda / generasi baru) yang merupakan anak-cucu keturunan Sunan Boto Putih. Sedangkan makam Sunan Boto Putih dan para leluhur lainnya masuk kelompok kesepuhan (sepuh = tua /generasi tua)

Kalau kita perhatikan, kompleks makam Boto Putih itu tidak hanya menjadi peristirahatan terakhir Sunan Boto Putih dan para adipati Surabaya serta keturunannya. 

Kompleks pusara adipati Surabaya (dok.pri)
Kompleks pusara adipati Surabaya (dok.pri)
Jasad Sultan Banten ke-17 yang bernama Maulana Mohammad Shafiuddin yang wafat pada 3 Rajab 1318 Hijriyah atau 11 November 1899  yang merupakan sultan terakhir Kesultanan Banten juga disemayamkan di kompleks makam Boto Putih itu.

Adipati (bupati) Surabaya yang dikebumikan di kompleks makam Boto Putih yaitu Raden Ario Tjokronegoro IV dan V. Selain itu seorang habib bernama Al Habib Syekh bin Achmad Abdullah Bafaqih juga disemayamkan di kompleks makam itu.

Ada gapura makam yang cukup mengundang perhatian peziarah karena arsitekturnya yang unik, menarik dan kuno sekaligus terkesan mistis yaitu kuburan milik Mas Adipati / Kyai Tumenggung Panji Djoyodirono.

Pusara Sunan Boto Putih (dok.pri)
Pusara Sunan Boto Putih (dok.pri)
Meski kompleks makam Sentono Agung Boto Putih ini merupakan kompleks makam sunan dan para bangsawan (adipati) namun tidak dilakukan pengamanan khusus, pintu gerbang tidak digembok seperti yang terlihat pada beberapa kompleks makam cagar budaya lainnya, seperti pada Makam Tembakan Surabaya. 

Para pengunjung bisa dengan leluasa memasuki area makam untuk berdoa atau membacakan yassin dan tahlil atau sekedar ziarah tabur bunga namun dilarang keras melakukan aksi vandalisme (perusakan) sehingga memusnahkan sebagian atau seluruh bagian makam yang bernilai sejarah itu.

Sejarah Sunan Boto Putih 

Kompleks pusara Pangeran Lanang Dangiran (dok.pri)
Kompleks pusara Pangeran Lanang Dangiran (dok.pri)
Sunan Boto Putih memiliki nama lain Pangeran Lanang Dangiran atau Kyai Ageng Brondong. Dinamakan Kyai Ageng Brondong karena waktu ditemukan di lautan tubuh Pangeran Lanang Dangiran muda ditempeli hewan-hewan laut semacam kerang yang sepintas menyerupai jagung brondong (pop corn).

Pangeran Lanang Dangiran mendapatkan tempaan dari Kyai Kendil Wesi hingga tumbuh menjadi manusia dewasa yang mumpuni.

Juru kebersihan makam Boto Putih (dok.pri)
Juru kebersihan makam Boto Putih (dok.pri)
Pada tahun 1595 diceritakan Kyai Ageng Brondong bersama keluarganya hijrah ke kawasan Surabaya tepatnya di sekitar Ampel Denta. Setelah sekian lama melakukan syiar Islam di daerah Boto Putih dan sekitarnya beliau akhirnya wafat pada tahun 1638.

Kisah atau cerita tentang Sunan Boto Putih mungkin tak banyak diungkap dalam sejarah perkembangan Islam di Pulau Jawa. Pamornyapun tidak seperti wali songo (wali sembilan) khususnya Sunan Ampel.

Sebagian orang mengatakan kalau Sunan Boto Putih itu lebih sepuh (tua) ketimbang Sunan Ampel. Belum bisa diterima secara jelas pendapat itu mengingat sejarah mencatat kalau Sunan Ampel hidup pada sekitar abad ke-14, lebih dulu dari Sunan Boto Putih. Sedangkan Sunan Boto Putih sendiri tercatat wafat pada tahun 1638. Selisih waktunya mencapai dua ratus tahunan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun