Museum Sepuluh November didirikan pada tanggal 10 November 1991 guna menunjang keberadaan Monumen Tugu Pahlawan yang telah berdiri sebelumnya, yakni tanggal 10 November 1951. Museum ini diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia ke-4, KH. Abdul Rahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 19 Februari 2000.Â
Bung Tomo kala itu dikenal sebagai pejuang yang sangat berperan dalam mengobarkan semangat juang Arek-arek Suroboyo melalui pidatonya yang menggelora yang dipancarkan Radio Republik Indonesia (RRI) Surabaya.Â
Selain nama besar Bung Tomo sebagai penggelora semangat juang Arek-arek Suroboyo, sejumlah nama yang turut berjasa dalam revolusi di Surabaya itu di antaranya adalah : M. Soejono, Loekitaningsih, Isbandijah, Residen Soedirman, D. Surip, Abdoellah, Wahib Wahab, Achijat, HR. Muhammad, Soetjipto Danoekoesoemo, Bu Dar Mortir, Mas Isman, Doel Arnowo, Iswahyudi dan Hario Kecik.
Berbagai senjata api yang digunakan oleh pejuang Surabaya kala itu maupun persenjataan hasil rampasan tentara Jepang dipajang secara apik dalam tempat berkaca. Para pengunjung museum termasuk saya dibuat penasaran dengan koleksi museum yang berupa persenjataan itu.Â
Salah satu koleksi berupa pistol yang digunakan pejuang bernama Hario Kecik begitu menyita perhatian saya dan para pengunjung museum lainnya.Â
Pistol yang bernama Mauser Parabellum itu merupakan salah satu senjata api yang berhasil dirampas dari markas Kempetai (polisi militer Jepang) pada akhir September 1945.Â
Menurut catatan sejarah, pistol ini ternyata sering dipakai dalam setiap revolusi yang terjadi di berbagai masa dan tempat, mulai dari Revolusi Bolshevik di Rusia, Â revolusi di Cina dan revolusi yang terjadi di Amerika Latin.
Kualitas dan material  pistol Mauser Parabellum termasuk yang terbagus di masanya. Bahkan disebut-sebut sebagai senjata legendaris bangsa-bangsa di berbagai penjuru dunia yang tengah menjalani proses revolusi.