Sebentar lagi kita umat Islam akan mengakhiri kewajiban menunaikan ibadah puasa Ramadan sebulan penuh lamanya. Usai Ramadan ini, kita semua akan memasuki babak baru. Diawali dengan perayaan Idul Fitri 1 Syawal dan kemudian berlanjut ke bulan-bulan berikutnya.
Berpuasa di bulan suci Ramadan seolah menjadi Kawah Candradimuka, penggembleng diri agar kita semua menjadi pribadi yang lebih baik secara lahir maupun batin.
Di beberapa hari terakhir Ramadan ini kita dianjurkan untuk lebih kusyuk dan banyak meningkatkan amaliah ibadah kita baik yang wajib maupun sunah.
Rindu Kembali dengan RamadanÂ
Kadang sebagian dari kita, terutama bagi mereka yang aktif bekerja di lapangan (out door activity) beranggapan bahwa kewajiban berpuasa di bulan suci Ramadan seolah menjadi kendala dalam beraktivitas.Â
Dengan berpuasa, sedikit atau banyak menyebabkan kondisi tubuh menjadi lemas karena tidak makan dan minum seharian. Â
Bisa dimaklumi karena makanan dan minuman tadi memang menjadi sumber energi untuk beraktivitas, kendala berupa lemasnya badan saat berpuasa lambat laun bisa diatasi setelah berbuka puasa dan makan sahur.
Yang tadinya berpuasa dianggap sebuah kendala dalam beraktivitas, lama kelamaan menjadi terbiasa bahkan menjadi sebuah kebutuhan.Â
Karena berpuasa sudah menjadi kebutuhan maka suatu saat nanti kita pasti akan membutuhkannya lagi. Kita pasti akan rindu dengan berpuasa Ramadan. Ya rindu apa saja mulai saat berbuka, menu berbuka yang unik dan spesial, tempat ngabuburit, acara makan sahur, musik klotekan saat sahur dan apa saja yang berkaitan dengan ibadah puasa.
Agama Islam melalui Nabi Muhammad SAW telah menuntun kita umat Islam dengan maksud dan tujuan yang terbaik serta menjadikan berpuasa di bulan suci Ramadan sebagai salah satu kebutuhan (utama) sesuai kemampuan kita masing-masing.Â
Itu sebabnya mengapa kita tidak diwajibkan berpuasa setiap hari melainkan hanya diwajibkan pada bulan Ramadan saja kecuali puasa-puasa sunah yang memang sudah diajarkan Nabi Muhammad SAW.
Tausiyah Ustad Adi Hidayat yang Menyentuh HatiÂ
Lebaran sebentar lagi tiba, umat Islam sangat menanti-nantikan hari kemenangan itu. Segala persiapanpun sudah dilakukan.
Beberapa hari belakangan sebagian umat Islam terlihat lebih sibuk menyiapkan kue lebaran, pakaian baru, perabotan atau kendaraan baru.Â
Sebagian orang terlihat mengecat rumahnya agar kelihatan ngejreng (cerah) dan menarik. "Riyoyoan rek (Berlebaran kawan, red)" begitu seloroh ala Suroboyoan.
Kebiasaan seperti itu sudah menjadi tradisi dan tak akan hilang sampai kapanpun. Hari Raya Idul Fitri atau lebaran dianggap sangat istimewa dan berbeda dengan hari-hari biasanya.Â
Lebaran bagi sebagian orang harus dirayakan sehingga dalam kondisi yang sulitpun tetap akan dirayakan. Kabarnya nih saking kepinginnya merayakan Idul Fitri, sampai dibela-belain utang agar bisa membeli apa saja untuk berlebaran ria.
Di tengah-tengah hiruk-pikuknya orang sedang sibuk menyambut datangnya lebaran yang tinggal beberapa hari itu, sebuah tayangan di salah satu TV swasta nasional begitu menyita perhatian saya.Â
Tayangan itu berisi acara tausiyah yang disampaikan oleh ustadz Adi Hidayat yang belakangan ini namanya sedang bersinar.Â
Kami sekeluarga terutama anak dan istri termasuk yang ngefans dengan isi ceramah-ceramah atau pencerahan beliau.
Entah mengapa kemarin sore itu (11/06/2018) suasana terasa begitu khidmat dan kusyuk, seolah kami sekeluarga larut dalam tausiyah ustadz Adi Hidayat.Â
Kami hampir setiap sore di bulan Ramadan ini rajin stay tune di depan layar kaca TV untuk mendengarkan tausiyah dari para ustad dari stasiun TV yang berbeda-beda, kami tinggal memilih channel yang cocok dengan selera kami.
Isi tausiyah yang disampaikan ustadz Adi Hidayat bukan hal baru lagi bahkan sudah biasa disampaikan oleh para dai atau ustadz saat menjelang lebaran. Isi ceramah beliau mengenai makna mudik.
Menurut ustadz Adi Hidayat, sebagian umat Islam di akhir Ramadan ini lebih sibuk menyiapkan bekal untuk mudik ke kampung halaman masing-masing, menyediakan kue-kue lebaran, pakaian baru atau apa saja yang menghebohkan untuk menyambut datangnya lebaran.Â
Mereka lupa atau bahkan tidak ingat bahwa bekal untuk mudik (kembali) kepada Allah harus lebih dipersiapkan lagi. Persiapannya justru melebihi mudik ke kampung halaman.
Bukan tidak mungkin sebelum sempat bertemu keluarga di kampung halaman masing-masing, sebagian dari mereka sudah mudik duluan, menghadap Ilahi karena terjadi kecelakaan di jalan, naudzubillah.
Itulah pentingnya mempersiapkan diri dengan berbagai bekal (amal soleh) untuk kehidupan di akherat dan bukan hanya bekal mudik lebaran.
Tausiyah ustadz Adi Hidayat tadi menjadi penyejuk jiwa sekaligus pengingat kami dan kita semua bahwa heboh mempersiapkan bekal untuk kehidupan di akherat itu jauh lebih penting ketimbang heboh dengan bekal mudik lebaran.
Mudik lebaran oke saja karena bukan saja sudah mentradisi tapi bersilaturrahim dengan orang tua dan anggota keluarga tercinta lainnya saat berkesempatan mudik juga sangat dianjurkan oleh Agama Islam. Yang jangan pernah dilupakan adalah bekal untuk mudik ke akherat nanti.
Kami sangat rindu dengan tausiyah-tausiyah seperti yang disampaikan oleh ustadz Adi Hidayat. Mungkin selama menjalani kehidupan ini kita sering lalai karena rutinitas duniawi yang membelenggu.Â
Dengan tausiyah (pencerahan) yang sudah tertancap dalam kalbu diharapkan kita ingat terus betapa bukan hanya bekal mudik lebaran saja yang harus disiapkan tapi juga bekal mudik menghadap Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H