Jangan memandang rendah orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik. Keadaan fisik yang cacat tak lantas menjadikan seseorang terpuruk.Â
Muhammad Amanatullah (25) salah satu contohnya. Lelaki muda asal Gresik ini membuktikan pada dunia luar kalau kekurangan yang ada pada dirinya bukan penghalang untuk bisa lebih berguna bagi masyarakat luas.
Aam demikian sapaan akrab anak ke-6 dari pasangan Nasifah (58) dan Aliantoro (64) merupakan salah satu penyandang cacat (difabel) yang telah membuktikan dirinya sebagai sosok yang berprestasi layaknya manusia normal saja.
Meski terlahir dengan kondisi tubuh yang tidak sempurna, (maaf) ibarat kaki jadi tangan dan tangan jadi kaki namun sejak usia balita Aam sudah menunjukkan bakat-bakat yang luar biasa.Â
"Suatu hari, sebelum masuk TK, entah mengapa kok tiba-tiba saya langsung ngambil buku, bolpoin lalu nulis pakai kaki" tutur Aam dengan polos menirukan cerita ibunya.
Kehadiran Aam di tengah-tengah keluarga sedikit banyak telah mengundang rasa simpati dan empati para tetangga dekatnya
"Masa kecil saya juga jarang di rumah, banyak tetangga yang berebut merawat (memandikan), menggendong ke sana kemari, mengajak bermain dan kembali ke rumah sudah rapi lagi" ujar Aam.
Seperti anak normal lainnya, Aam juga bermain dan berkumpul bersama teman-teman sebayanya. Tak nampak rasa minder sedikitpun di wajah Aam kecil.
 "Waktu masih kecil dulu saya paling suka main bola pak, sekarang aja jarang karena udah besar (dewasa, red)" lanjut Aam sambil tersenyum ramah mengisahkan masa lalunya.
Mulai dari situ orang tuanya terus-menerus memperhatikan bakat dan potensi yang ada pada dirinya.
Perjalanan Pendidikan AamÂ
Aam semakin tumbuh dan berkembang, mulailah ia bersekolah. Awalnya keluarga, kerabat dan para tetangga menyarankan agar Aam masuk YPAC (Yayasan Pendidikan Anak Cacat) saja. Namun terjadi tarik ulur dan akhirnya ia bersekolah di SLB (Sekolah Luar Biasa).
Selama bersekolah di SLB kelas III atau IV Aam mulai menunjukkan potensinya. Ia sering mengikuti lomba-lomba bukan hanya lomba melukis tapi juga kemampuan lain dan sering menang.
Ada seorang lagi teman Aam di SDN Kebomas yang juga difabel. Namun teman kecil Aam ini hanya bertahan 2 hari saja bersekolah. Selanjutnya dia berhenti dan mengurung diri saja di rumah.Â
Dia minder dan tak pandai membuka diri seperti Aam hingga di usia dewasa ini. Setiap ada tamu atau saudara yang ingin berkunjung ke rumahnya, teman difabel Aam ini memilih masuk dan menutup rapat-rapat pintu kamarnya.
Lulus dari SDN Kebomas, Aam melanjutkan ke SMPN 4 Gresik. Saat menapaki pendidikan di SMP ini, Aam ditunjuk mewakili sekolahnya untuk mengikuti lomba membuat komik dimana hanya ia saja satu-satunya peserta yang difabel meski begitu akhirnya menang juga dan menduduki peringkat ke-3.
Prestasinya tak berhenti sampai di situ. Pernah pada acara lelang lukisan di Surabaya yang dimotori oleh Dorce Gamalama dimana kala itu menghadirkan Jenderal Purn. Polisi Soetanto dan Anton Bahrul Alam, 3 karya seni lukis Aam dari crayon laku terjual.
Selama 3 tahun menempuh pendidikan di SMPN 4, mulai tahun 2006 sampai 2009. Kemudian melanjutkan ke SMA Semen (Gresik), mulai tahun 2009 sampai 2012. Lulus dari SMA Semen tak lantas kuliah, Aam sempat vakum selama empat tahun. Selama empat tahun itulah ia menempa kemampuan melukisnya.
Bertemu Guru LukisÂ
Kemampuan melukis yang dimiliki Aam tak serta merta jatuh dari langit begitu saja melainkan melalui proses yang panjang. Sebelum seperti sekarang ini, Aam mengasah kemampuan melukisnya dengan belajar pada beberapa orang guru.Â
Mulai SMP Aam mengembangkan bakat melukisnya. Cara melukis pertama kali ia pelajari dari Inung. Dari beliau ini Aam mendapatkan pengetahuan untuk lebih berani menggambar. "Tidak perlu takut menggunakan warna yang ada" ujarnya menirukan pesan Inung.
Roda waktu terus berputar sampai pada akhirnya Aam bertemu dengan guru lukis yang baru yaitu Feri. Melalui Ferilah pengetahuan tentang gradasi (permainan, red) warna ia dapatkan. Baik Inung maupun Feri, kedua guru lukis Aam itu mengajar seni lukis khusus menggunakan media crayon.
Kesukaan Aam akan olahraga sepak bola ternyata menjadi berkah tersendiri. Berawal dari kesukaannya bermain bola waktu SMP itulah untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Komang Jaya Upadana, sosok yang disebut-sebut Aam begitu berjasa dalam hidupnya.
Dari Komang itulah Aam mulai mendapatkan ilmu melukis yang sebenarnya. Bahan untuk melukis juga sudah menggunakan cat air atau cat minyak dan bukan crayon lagi. Ilmu yang didapatkan Aam tak sekedar pengetahuan tentang cat minyak dan cat air saja melainkan juga karakteristik masing-masing jenis cat, seni melukis dan tahapan finishing.
Komang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada Aam agar bisa mengembangkan kemampuan melukisnya. Tidak mengikatkan diri pada satu guru saja. Menurut pengakuan Aam, Komang inilah yang menjadi inspirator untuk bangkit kembali setelah sebelumnya sempat down.
Bergabung dengan AMFPAÂ
Ketika berlangsung pameran seni lukis di Jatim Expo, Komang sempat mengenalkan Aam dengan Sabar Subadri. Tak lama setelah pertemuan keduanya, Aam mencatatkan diri di sebuah asosiasi seni bertaraf dunia yang berkantor di Negara Swiss, AMFPA nama lembaga itu.
AMFPA beranggotakan lebih dari 900 orang yang berasal dari berbagai negara di dunia. Anggota terbanyak berasal dari Amerika Latin, sementara Indonesia sendiri mengirimkan anggotanya sebanyak 9 orang termasuk Aam.Â
Sebelum menjalani kontrak seorang anggota AMFPA harus mengikuti tahapan-tahapan seleksi sampai bisa diterima Â
"Kalau ikut AMFPA kayak orang kerja saja pak" ungkap Aam dengan optimis.
Setiap tahun Aam wajib mengirimkan 5 buah karya lukisnya. Semua karya harus asli milik anggota dan bukan karya orang lain. AMFPA tak segan-segan menjatuhkan sanksi berupa pemecatan bila ada anggota yang terbukti melakukan plagiarisme.
Setelah menggabungkan diri dengan AMFPA ini setiap bulan Aam mendapatkan apresiasi berupa sejumlah uang dan yang ditransfer melalui rekening banknya.Â
Aliran dan Energi Karya Lukisnya
Sebagai pelukis difabel yang sudah tergabung ke dalam AMFPA, Aam menganut aliran realis. Aam mengaku tidak ingin terpaku pada spesialisasi objek tertentu misalnya pelukis difabel khusus binatang, khusus buah, human interest atau lainnya.
Beberapa pengamat seni lukis pernah menyatakan kekagumannya terhadap karya lukis Aam. Salah satu karyanya yang bergambar kepala singa dan kini sudah terjual itu ia anggap sebagai karya fenomenal.Â
Sementara itu pengamat lain dengan sedikit berkelakar menyarankan agar gambar singa tadi dilengkapi dengan gambar pagar karena singa tadi terlihat seolah-olah mau menerkam orang.
Kuliah di Universitas Muhammadiyah GresikÂ
Setelah empat tahun absen dari dunia pendidikan, atas budi baik Bu Surya maka pada tahun 2016 Aam mulai mencoba memasuki dunia universitas.
Bu Surya merupakan salah satu pengurus Unmuh Gresik yang mensponsori diadakannya acara yang menghadirkan anak-anak berkebutuhan khusus (ABK).
Beliau mulai tertarik dengan kemampuan mengajar Aam tentang materi "mewarnai" dan akhirnya memperjuangkan hingga Aam mendapatkan beasiswa untuk bisa kuliah di Unmuh Gresik.Â
Bagi Aam, masuk dunia perkuliahan bukanlah perkara mudah.Â
"Saya sempat minder pak karena lama beku dan belum terbiasa dengan teman-teman baru" terang Aam.
Ayah dan anggota keluarga Aam lainnya dengan setia mengantarnya ke kampus Unmuh. Ayahnya dengan sabar dan telaten merancang sepeda motor, sepeda dan meja khusus agar Aam bisa mengikuti perkuliahan dengan baik.
"Sekarang saya sudah semester empat jurusan PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar, red)" lanjut Aam penuh semangat.
Mengajar Ngaji di TPQÂ
Vakum beberapa tahun usai lulus SMA tak lantas menjadikan Aam terpuruk. Selain mengembangkan bakat seninya lelaki muda kelahiran Sidomoro, Kebomas - Gresik itu juga mengisi waktu senggangnya dengan mengajar ngaji di kampungnya.
Awalnya Aam juga seorang murid yang belajar pada guru. Setelah katam Qur'an, ia kini dipercaya mengajar iqro' di TPQ Al-Hidayah yang ada di kampungnya.
Keterangan Tokoh MasyarakatÂ
Ditemui secara terpisah usai menunaikan ibadah Sholat Dhuhur berjamaah, seorang takmir Masjid Al-Hidayah, Imam Supardi (67) mengatakan kalau Aam memang sosok yang patut diacungi jempol.Â
Selain mengajar ngaji, Aam juga tak jarang menjadi bilal dan muadzin di Masjid Al-Hidayah.
"Meski kondisinya kurang, teman-temannya banyak, pinter nggambar (melukis, red)" jelentreh Pak Imam.
Saran Untuk Sesama DifabelÂ
Ada sebagian orang tua yang mungkin merasa malu melihat salah satu anaknya mengalami kekurangan fisik maupun mental (cacat/difabel).Â
Keadaan anak seperti apapun hakekatnya adalah "karunia" Allah. Sebab itu para orang tua tak perlu malu (gengsi) bila ada anaknya yang cacat.Â
"Anak yang cacat tadi jangan dikurung terus, orang tuanya harus mengajak bermain, membuka diri" saran Aam kepada sesama difabel.
"Kalau ada yang mengolok-olok karena badan kita cacat, jangan tersinggung dan minder, justru orang itu ngefans kita" lanjut Aam.
Peran orang tua dan keluarga juga sangat penting untuk menguatkan hati dan semangat si anak. Orang tua harus meyakinkan kepada si anak agar rasa percaya dirinya tumbuh dan tidak minder dengan kekurangan yang ada pada dirinya.
"Jika Allah memberikan kekurangan, maka dibaliknya pasti ada kelebihan (keistimewaan), jangan berkecil hati" pungkas Aam mengakhiri perbincangan kami siang itu.
Muhammad Amanatullah (Aam) pantas mendapatkan hadiah dari Allianz berupa beribadah umroh ke tanah suci Mekkah karena ia memiliki daya juang yang tinggi. Meski difabel ia bisa menjadi inspirator dan motivator bagi masyarakat luas khususnya kaum difabel sendiri.
Catatan ini juga ditayangkan di microsite Allianz https://kadoumroh.allianz.co.id/. Anda bisa ikut membagikan kisah inspiratif pada link ini dengan menggunakan hashtag #KadoUmrohAllianzKompasiana.
Antara saya dan Muhammad Amanatullah (Aam) tidak ada hubungan pertemanan dan persaudaraan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H