Sepeninggal Sunan Giri atau yang bergelar Prabu Satmata (Jawa = Satmoto), raja-raja pengganti yang memimpin Giri Kedaton rata-rata tidak secakap Sunan Giri.Â
Setelah Sunan Giri (Maulana Ainul Yaqin) wafat digantikan oleh putranya yaitu Sunan Dalem atau yang punya nama lain Maulana Zainal Abidin.Â
Sunan Dalem dan Sunan Sedomargi
Dalam sejarah disebutkan kalau Sunan Dalem ini sempat hijrah ke kawasan Desa Gumeno, Manyar-Gresik karena ada serangan dari Kerajaan Sengguruh (Pasuruan).Â
Di Gumeno ini Sunan Dalem meninggalkan warisan berupa Masjid Jamik Gumeno dan tradisi pembuatan kolak ayam yang diselenggarakan setiap malam 23 Ramadan atau yang dikenal dengan istilah Sanggringan.Â
Setelah keadaan normal, Sunan Dalem kembali memerintah Giri Kedaton sampai akhirnya wafat dan jasadnya dikebumikan di kompleks pekuburan Sunan Giri.
Sebagai penerus Giri Kedaton selanjutnya diangkatlah putra Sunan Dalem yang bernama Sunan Sedo Margi. Sedo Margi atau Sedo ing Margi berarti meninggal di jalan, beliau meninggal ketika melaksanakan misi dakwah Islam rombongan Kesultanan Demak di daerah Panarukan (Situbondo).Â
Kisah Sunan Prapen dan Arsitektur Cungkupnya
Pusara Sunan Prapen tidak berada di kompleks pemakaman Sunan Giri melainkan terpisah agak jauh, sekitar 200 meter di sebelah baratnya yaitu di Desa Klangonan, Kebomas-Gresik.
Seperti kompleks pemakaman Sunan Giri, pusara Sunan Prapen juga berada di wilayah perbukitan Desa Klangonan. Untuk bisa sampai ke lokasi makam, peziarah harus berjalan kaki melewati puluhan trap tangga dari coran semen.
Konon nih bagi pasangan yang belum dikaruniai anak bisa bermunajad sambil duduk di atas watu anak yang dikeramatkan itu agar segera mendapatkan momongan. Percaya atau tidak, wallahu a'lam bishawab.Â
Setelah melewati puluhan trap tangga, para pengunjung akan melihat 3 bangunan pelindung mirip pendopo dan cungkup yang di dalamnya berisi kuburan.
Di depan masing-masing cungkup terdapat papan nama siapa sunan yang jasadnya disemayamkan di sana.Â
Sayangnya saat saya berkunjung ke Desa Klangonan beberapa waktu lalu, pintu cungkup Sunan Prapen dalam keadaan terkunci.Â
Saya tidak menemukan penjaga makam sang sunan. Saya hanya melihat beberapa peziarah terlihat sedang bermunajad di makam itu.
Cungkup makan Sunan Prapen ini terlihat unik. Dibuat dari kayu berukir dicat warna biru muda yang dikombinasikan dengan warna coklat tua kemerahan. Tepat di atas badukan di depan pintu masuk cungkup terlihat ukiran kayu berbentuk dua ular naga dengan mulut terbuka.Â
Motif ukiran di bagian depan cungkup ini hampir seluruhnya bermotif bunga dengan bentuk yang sangat anggun dan menarik untuk dipandang mata.
Persis di samping kanan cungkup Sunan Prapen terlihat kuburan dengan nama Kyai Sindujoyo. Belum begitu jelas apakah itu benar-benar makam atau hanya petilasan (jejak) nya saja.Â
Biasanya untuk mendapatkan keterangan yang lebih jelas saya berhubungan dengan pekuncen. Sayangnya sang pekuncen sedang tidak ada di lokasi siang itu.
Saya mendengar makam tokoh yang bernama Sindujoyo itu terpisah agak jauh, berada di kawasan Pasar Sindujoyo Kota Gresik. Kyai Sindujoyo dikenal sebagai santri atau murid kesayangan Sunan Prapen.
Panembahan Kawis GuwoÂ
Kepemimpinan Panembahan Kawis Guwo ini tak banyak diungkap dalam sejarah. Kabarnya, gelar panembahan yang disematkan menunjukkan kalau kala itu pemerintahannya mengalami kemunduran.Â
Kata panembahan sendiri berarti yang menjadi sesembahan atau orang yang disembah alias raja.Â
Sebenarnya sebutan sunan maupun panembahan nilai rasanya kurang lebih sama. Sebutan sunan sepertinya lebih kental dengan nuansa Islami. Sedangkan gelar panembahan lebih terkesan Njawani.
Seperti pusara Sunan Prapen, pusara Panembahan Kawis Guwo juga dilengkapi bangunan pelindung seperti pendopo dengan genteng dari kayu sirap. Di dalam pendopo terdapat satu cungkup sebagai makam utama.Â
Dalam cungkup itulah Panembahan Kawis Guwo bersemayam. Sementara di sekelilingnya terdapat 6 atau 7 makam yang kurang jelas siapa pemiliknya. Mungkin milik keluarga atau para pengikutnya.
Cungkup makam Panembahan Kawis Guwo terlihat sangat unik. Mengingatkan saya pada cungkup makam milik Siti Fatimah Binti Maimun di Leran, Manyar -- Gresik.
Cungkup makam Panembahan Kawis Guwo juga terbuat dari batu putih yang diukir dengan motif yang sangat detil. Di dinding sebelah kanan dan kirim sepertinya bermotif bunga.Â
Pintu masuk cungkup dibuat dari kayu jati berkualitas dan berukir layaknya ukiran gebyok dari Jepara. Tepat di depan pintu cungkup berdiri satu pilar (tiang) penyangga joglo. Pilar kayu itu berukir sangat indah, bagian atasnya bercabang 3 atau 4 menopang bagian atas joglo.
Ukiran pintu gebyok, pilar penyangga pendopo dan cungkup makam dari batu putih berukir indah menunjukkan kalau Panembahan Kawis Guwo itu sosok yang sangat dihormati atau dijunjung tinggi di masanya meski sempat dikabarkan pemerintahannya meredup.
Panembahan AgungÂ
Berbeda dengan kompleks makam Panembahan Kawis Guwo yang dilengkapi cungkup berukir, kuburan Panembahan Agung terlihat biasa tanpa cungkup yang menunjukkan status sang raja di masanya. Ada beberapa makam tanpa nama selain makam sang panembahan.
Gaya kepemimpinannya juga nyaris tak banyak diungkap dalam sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H