Selama ini informasi yang ada di internet hanya bersifat parsial (sepenggal-sepenggal), kurang komprehensif dan itupun belum tentu benar.
Saya secara pribadi menjadi lebih ingin tahu tentang Prasasti Airlangga itu setelah Museum Surabaya yang ada di Gedung Siola Surabaya itu memajang replika prasasti yang pernah saya datangi lima tahun silam itu.
"Pengunjung Museum Surabaya dibuat penasaran dengan replika Prasasti Airlangga yang berwarna hitam dengan ukuran yang besar" terang Deimen sambil menemani saya memandangi relief yang terpahat pada replika itu.
Kalau saya perhatikan, replika itu oleh pengelola sengaja ditempatkan dekat pintu masuk Museum Surabaya sehingga lebih dulu dilihat oleh para pengunjung.
Replika Prasasti Airlangga atau yang bernama Prasasti Kamalagyan itu oleh pengelola museum dilengkapi keterangan yang berbunyi: Subaddapageh huwus pepet hilinikang bahu ikang bangawan amatlu hilinyangalor, kapwa ta sukha manah nikang maparahu samanghulu mangalap bhanda ri hujunggaluh, artinya: kokoh kuat terbendung sudah arus sungai Bengawan bercabang tiga mengalir ke utara maka senang hati para tukang perahu bersama-sama mengambil muatan di hujunggaluh.Â
Adapun letak hujunggaluh di kali Surabaya bagian sebelah utara Dukuh Klagen.
Prasasti Kamalagyan dibangun Airlangga dari Kerajaan Kahuripan Kadiri (Kediri) untuk memperingati keberhasilan atas pembuatan bendungan di Waringin Sapta pada 959 saka (1037 m).
Sebagai awam yang kebetulan juga sedikit menyukai dunia seni relief (pahat), saya melihat Prasasti Airlangga itu memiliki cita rasa seni yang sangat tinggi.Â
Kalau diperhatikan, huruf-huruf Jawa kuno (sansekerta) yang dipahatkan terlihat begitu jelas dan rapi, padahal kala itu mungkin arsitek Airlangga tidak menggunakan alat ukur (mistar) untuk mengerjakannya. Sungguh sebuah maha karya yang harusnya dipelihara dengan baik.Â