Tak seperti hari-hari sebelumnya, entah mengapa pagi itu terasa lain, suasananya tampak gayeng (menyenangkan, red). Suasana yang samasekali berbeda, tak diwarnai bengkerengan (perang mulut, red) dengan istri tersayang yang selama ini dengan tulus menerima saya apa adanya
Dengan puteri semata wayang kami yang kini mulai beranjak dewasa, dengan seorang keponakan perempuan yang sudah kami anggap sebagai anak sendiri dan sudah puluhan tahun jauh dari ayah-bundanya. Suasana pagi itu benar-benar penuh keteduhan, di mana kami berempat bisa rehat sejenak dari persoalan-persoalan apa saja yang selama ini menghimpit keseharian kami.
Alhamdulillah, dua puluh tahun lebih kami menjalani kehidupan berumah tangga dalam suka dan duka. Meski keadaan rumah tangga kami masih jauh dari konsep ideal berumah tangga yang sakinah, mawaddah warahmah namun setidaknya kehidupan berumah tangga kami masih tergolong wajar-wajar saja.
Plesir meriah merupakan salah satu cara untuk mendapatkan kembali momen kehangatan bersama keluarga tercinta yang mulai sirna akibat rutinitas keseharian yang membosankan. Bagi kami, plesir kan tidak harus mendatangi tempat wisata atau mal serta  tempat-tempat tertentu yang membutuhkan biaya banyak. Mengunjungi keponakan yang baru pindah rumah itu ternyata menjadi salah satu cara jitu untuk memupuk kembali kehangatan bersama anggota keluarga.
Rumah keponakan yang kami kunjungi itu ukurannya tak terlalu besar namun terlihat bersih dan nyaman untuk dijadikan tempat tinggal. Sebuah rumah yang cocok bagi mereka yang baru membina hubungan berumah tangga. Maklum keponakan kami itu memang baru menikah. Mereka berdua sangat mandiri dan kini berstatus sebagai karyawan pada perusahaan makanan yang ada di Kota Gresik.
Kalau memperhatikan keponakan yang baru berumah tangga itu kami jadi ngiri sebab keadaan mereka jauh lebih baik ketimbang kondisi rumah tangga kami dua puluh tahun silam. Kala itu kami berdua sama-sama tidak bekerja. Saya baru keluar dari perusahaan karena tidak betah dan istri juga tidak bisa melanjutkan pekerjaannya karena perusahaan tempatnya bekerja jatuh bangkrut terkena dampak krisis moneter. Kami sempat nebeng di rumah mertua dan kakak. Untuk menyambung hidup saja tak jarang kami menjual pakaian kami atau perhiasan istri.
Hari demi hari kami lalui hingga kami menjadi seperti sekarang ini. Kesabaran kami dan kesetiaan istri tercinta menjadikan bahtera rumah tangga kami tetap kokoh dan bertahan dalam mengarungi samudera kehidupan ini. Sampai pada akhirnya lahir puteri semata wayang kami yang kini mulai beranjak dewasa. Kami juga mendapat amanah untuk merawat seorang keponakan perempuan yang kedua orang tuanya kurang harmonis.
Di depan rumahnya yang mungil nan indah itu keponakan dan suaminya sedang menanti kedatangan kami berempat. Wajah mereka tampak berseri-seri, merah merona memancarkan keceriaan saat menyambut kami. Mereka mempersilahkan kami masuk ke dalam rumahnya yang berlantai dua itu. Sementara di meja makan terlihat berbagai hidangan, salah satunya nasi krawu yang menjadi kuliner khas Kota Gresik.
Tanpa ba bi bu kami berenam langsung saja melahap berbagai hidangan yang sejak pagi tadi sengaja disiapkan untuk menjamu kunjungan kami. Suasana tampak begitu akrab dan sungguh menyenangkan. Sambil menikmati makanan yang dihidangkan, bak keluarga yang penuh kehangatan suami keponakan yang juga seorang staf inti pada perusahaan di Gresik itu bercerita banyak tentang Desa Leran, desa di mana kini keluarga muda itu berdomisili.Â
Menurutnya, tidak jauh dari rumahnya berada terdapat pusara seorang pejuang Islam yang khabarnya sudah ada sebelum datangnya WaliSongo (Wali Sembilan, red) yang sangat terkenal itu. Pejuang Islam itu bernama Siti Fatimah Binti Maimun atau masyarakat Desa Leran menyebutnya Puteri Retno Suwari. Kami semua yang sedang asyik menikmati beraneka hidangan itu seolah larut dalam cerita panjang pejuang Islam yang meninggal di usia belia itu.Â
Belum selesai menuntaskan ceritanya, suami keponakan mengajak kami keluar rumah sekaligus menunjukkan di mana posisi kompleks pusara Siti Fatimah Binti Maimun berada. Kami berjalan beriringan, tak jarang juga berpapasan dengan penduduk asli Desa Leran, Manyar -- Gresik.Â
Hari belum terlalu siang sehingga sengatan cahaya matahari tak begitu gahar menerpa tubuh kami, ditambah lagi suasana mendung menjadikan perjalanan kami begitu nyaman. Lagi pula jarak kompleks pusara Puteri Retno Suwari dengan kediaman keponakan kami itu tak begitu jauh. Kami semua merasa asyik-asyik saja menikmati acara jalan kaki menuju pusara beliau.
Momen Kehangatan di Pos Ronda Leran
Kompleks makam Siti Fatimah Binti Maimun sangatlah luas. Bentuk cungkup makam beliau sangat unik, dari kejauhan sepintas mirip dengan bentuk bangunan piramid yang ada di Mesir. Cungkup makam terbuat dari batu putih, yang masih bertahan keasliannya seperti saat didirikan pertama kali oleh penguasa kala itu.Â
Di sekitar cungkup utama yang sudah berusia 1000 tahun lebih itu juga terdapat makam atau kuburan yang berukuran sangat panjang yang dinamakan makam panjang. Menurut cerita masyarakat Desa Leran, makam panjang merupakan makam keluarga dan kerabat Siti Fatimah Binti Maimun.
Mengingat areal kompleks makam Siti Fatimah Binti Maimun yang cukup luas menjadikan acara jalan kaki bukan saja menyenangkan namun juga melelahkan. Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di pos ronda yang kata keponakan tak pernah sepi dari orang yang nongkrong di sana.Â
Anehnya, pos ronda yang sangat sederhana itu terlihat sepi pagi itu, seolah tahu kedatangan kami yang hendak nongkrong di sana. Saya dan istri serta puteri semata wayang kami duduk bersantai di balai bambu pos sambil melepas rasa lelah. Sementara ketiga keponakan kami memilih berfoto ria sambil bercengkerama ngalor-ngidul untuk mengisi suasana pagi itu.
Tak jauh dari pos ronda tempat kami rehat tumbuh pepohonan bambu yang pagi itu tak menampakkan bunyi khasnya bila ditiup sang bayu. Rumpun bambu seolah membisu melihat kebersamaan kami. Kami yang kalau di rumah sendiri mungkin sering perang mulut gegara hal yang sepele, aneh bin ajaib di bawah naungan pos ronda yang nyaris ambruk itu suasana menjadi hening dan teduh. Puteri semata wayang kami juga larut dalam suasana di bawah teduhnya pos ronda Leran sambil asyik memainkan gadgetnya. Tak peduli dengan kami yang kelelahan.
Sang istri kemudian mengulurkan tangannya, mengurut tengkuk saya secara perlahan dengan sedikit balsam yang biasa kami bawa saat bepergian. Belum puas dengan urut tengkuk, kembali saya meminta istri memijat telapak kaki yang terasa pegal setelah berkeliling di kompleks pusara. Ough..nikmatnya, gumam saya dalam hati. Sudah lama saya tak merasakan pijatan sang istri ini. Pijatan-pijatan dengan penuh rasa mesra. Â
Sedikit balsam boleh jadi menimbulkan rasa hangat atau bahkan panas pada kulit bila dioleskan pada bagian tertentu dari tubuh kita namun pijatan-pijatan dengan belai kasih mesra bukan tidak mungkin justru menciptakan rasa hangat yang lebih lama, lebih abadi dari sekedar olesan balsam.Â
Bagi kami kemesraan bukan sekedar perasaan cinta kasih sesaat di atas ranjang. Lebih dari itu, anak sebagai buah hati keluarga dan tak menutup kemungkinan anggota keluarga lainnya juga berkontribusi menciptakan kemesraan. Kemesraan merupakan refleksi kehangatan keluarga yang kami bangun berdasarkan perasaan take and give selama puluhan tahun karena itu jangan pernah berlalu sampai maut memisahkan kami.
Momen kemesraan yang terjadi di pos ronda Leran merupakan salah satu bentuk kehangatan keluarga kami yang mengalir begitu saja, tidak dibuat-buat, hangatnya begitu terasa hingga ke lubuk hati yang terdalam. Pos ronda Desa Leran seolah menjadi saksi bisu betapa kehangatan keluarga kami tidak terjadi dengan sendirinya melainkan hasil dari sebuah proses yang panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H