Hari belum terlalu siang sehingga sengatan cahaya matahari tak begitu gahar menerpa tubuh kami, ditambah lagi suasana mendung menjadikan perjalanan kami begitu nyaman. Lagi pula jarak kompleks pusara Puteri Retno Suwari dengan kediaman keponakan kami itu tak begitu jauh. Kami semua merasa asyik-asyik saja menikmati acara jalan kaki menuju pusara beliau.
Momen Kehangatan di Pos Ronda Leran
Kompleks makam Siti Fatimah Binti Maimun sangatlah luas. Bentuk cungkup makam beliau sangat unik, dari kejauhan sepintas mirip dengan bentuk bangunan piramid yang ada di Mesir. Cungkup makam terbuat dari batu putih, yang masih bertahan keasliannya seperti saat didirikan pertama kali oleh penguasa kala itu.Â
Di sekitar cungkup utama yang sudah berusia 1000 tahun lebih itu juga terdapat makam atau kuburan yang berukuran sangat panjang yang dinamakan makam panjang. Menurut cerita masyarakat Desa Leran, makam panjang merupakan makam keluarga dan kerabat Siti Fatimah Binti Maimun.
Mengingat areal kompleks makam Siti Fatimah Binti Maimun yang cukup luas menjadikan acara jalan kaki bukan saja menyenangkan namun juga melelahkan. Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di pos ronda yang kata keponakan tak pernah sepi dari orang yang nongkrong di sana.Â
Anehnya, pos ronda yang sangat sederhana itu terlihat sepi pagi itu, seolah tahu kedatangan kami yang hendak nongkrong di sana. Saya dan istri serta puteri semata wayang kami duduk bersantai di balai bambu pos sambil melepas rasa lelah. Sementara ketiga keponakan kami memilih berfoto ria sambil bercengkerama ngalor-ngidul untuk mengisi suasana pagi itu.
Tak jauh dari pos ronda tempat kami rehat tumbuh pepohonan bambu yang pagi itu tak menampakkan bunyi khasnya bila ditiup sang bayu. Rumpun bambu seolah membisu melihat kebersamaan kami. Kami yang kalau di rumah sendiri mungkin sering perang mulut gegara hal yang sepele, aneh bin ajaib di bawah naungan pos ronda yang nyaris ambruk itu suasana menjadi hening dan teduh. Puteri semata wayang kami juga larut dalam suasana di bawah teduhnya pos ronda Leran sambil asyik memainkan gadgetnya. Tak peduli dengan kami yang kelelahan.
Sang istri kemudian mengulurkan tangannya, mengurut tengkuk saya secara perlahan dengan sedikit balsam yang biasa kami bawa saat bepergian. Belum puas dengan urut tengkuk, kembali saya meminta istri memijat telapak kaki yang terasa pegal setelah berkeliling di kompleks pusara. Ough..nikmatnya, gumam saya dalam hati. Sudah lama saya tak merasakan pijatan sang istri ini. Pijatan-pijatan dengan penuh rasa mesra. Â
Sedikit balsam boleh jadi menimbulkan rasa hangat atau bahkan panas pada kulit bila dioleskan pada bagian tertentu dari tubuh kita namun pijatan-pijatan dengan belai kasih mesra bukan tidak mungkin justru menciptakan rasa hangat yang lebih lama, lebih abadi dari sekedar olesan balsam.Â
Bagi kami kemesraan bukan sekedar perasaan cinta kasih sesaat di atas ranjang. Lebih dari itu, anak sebagai buah hati keluarga dan tak menutup kemungkinan anggota keluarga lainnya juga berkontribusi menciptakan kemesraan. Kemesraan merupakan refleksi kehangatan keluarga yang kami bangun berdasarkan perasaan take and give selama puluhan tahun karena itu jangan pernah berlalu sampai maut memisahkan kami.
Momen kemesraan yang terjadi di pos ronda Leran merupakan salah satu bentuk kehangatan keluarga kami yang mengalir begitu saja, tidak dibuat-buat, hangatnya begitu terasa hingga ke lubuk hati yang terdalam. Pos ronda Desa Leran seolah menjadi saksi bisu betapa kehangatan keluarga kami tidak terjadi dengan sendirinya melainkan hasil dari sebuah proses yang panjang.